Ganja Bukan Narkoba

 Polemik Ganja dalam UU Narkotika: Ganja bukan Narkotik

Kepala BNN Prop.DI Yogyakarta, Bapak Drs.Budiharso,M.Si, sebagai pembicara pertama, mengawali dengan mengingatkan kembali akan fungsi hukum, baik yang bersifat preventif maupun represif untuk melindungi warga negara serta lebih menghormati dan meningkatkan ketaatan terhadap peraturan perundangan yang telah ditetapkan. Undang-undang narkotika telah disusun sebagai bentuk pertanggungjawaban negara untuk melindungi warga negaranya, baik Undang-undang narkotika UU RI no.9 tahun 1976,
UU RI 22 tahun 1997 maupun yang terbaru UU RI No. 35 tahun 2009.


Selanjutnya, Ketua Advokasi, Lingkar Ganja Nusantara  (LGN), Peter Dantovski tampil menjadi pihak kontra terhadap undang-undang narkotik. Peter, yang bahkan tampil berkemeja dengan corak daun ganja,  menekankan perjuangan organisasinya untuk melegalkan ganja dan mengeluarkan ganja dari golongan I undang-undang narkotika. Alasan mereka (LGN) adalah bahwa ganja (sebagai pohon) bukanlah narkotika. Usaha-usaha advokasi dan edukasi mengenai manfaat ganja dan perlunya penelitian-penelitian tentang tanaman ganja menjadi langkah-langkah LGN. Dengan judul presentasi ‘Menyibak Cakrawala Baru yang luas, mewariskan kehidupan Merdeka’ , Peter mempertanyakan, jika ganja sering disebut sebagai “disalah-gunakan”, lalu bagaimana “pembenar-gunaan”nya??  Mereka berasumsi jika ganja dilegalkan penggunaannya, akan dapat menekan pasar gelap yang menurut LGN melibatkan uang beredar sekitar 50 T, yang menurut hemat mereka dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Peter yang pengguna ganja juga mempertanyakan bahwa hasil-hasil penelitian seringkali tidak sesuai dengan kenyataan… jika selama ini ganja dilaporkan bisa menyebabkan efek negatif pada saluran nafas, mengapa teman-temannya pengguna ganja malah menjadi sehat?… Hmm, agak tendensius sih… tapi memang jika perlu, harus dilakukan penelitian-penelitian di kalangan pengguna ganja di Indonesia untuk memastikan efeknya. Tentunya harus didukung oleh disain penelitian, pengambilan data, serta analisis yang valid utk mendapatkan data yang obyektif.

Apa sih yang disebut narkotika?

Istilah “narcotic” awalnya dimunculkan oleh dokter Yunani, Galen, yang merujuk pada senyawa yg menyebabkan “mati rasa”. Kata ini berasal dari bahasa Yunani :ναρκωσις ( narcosis), yang artinya “mati rasa” itu tadi. Dulu beberapa tanaman digunakan dalam proses pengobatan untuk tujuan tersebut, misalnya pada pembedahan atau mengurangi rasa sakit, seperti : mandrake root, altercus (eclata) seeds, and poppy juice (opium), yang berefek menghilangkan nyeri dan  menidurkan.

Istilah ini sekarang bergeser atau meluas, yaitu bahwa semua senyawa yang memiliki efek psiko-aktif (mempengaruhi fisik dan kejiwaan) digolongkan sebagai narkotika. Tidak saja senyawa golongan opiat, tapi termasuk stimulan seperti amfetamin dan derivatnya sekarang tergolong sebagai narkotika. Nah, menurut UU Narkotika no 35 th 2009, narkotika didefinisikan sebagai : zat atau obat yang berasal dari  tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Dalam UU ini, narkotika digolongkan ke dalam tiga golongan:

Narkotika Golongan I : hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan

Contoh : heroin, kokain, opium, ganja, katinon, MDMDA/ecstasy

Narkotika Golongan II : Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan

Contoh : morfin, petidin, fentanil, metadon

Narkotika golongan III : berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan

Contoh : Codein, buprenorfin, etilmorfin

Nah, utk penggolongan ini dan kriterianya, aku berpendapat bahwa ini perlu direvisi. Jika dicermati, kriteria di atas mencerminkan adanya strata tentang potensi mengakibatkan ketergantungan, di mana Gol I dikatakan berpotensi sangat tinggi, gol II potensi tinggi, dan gol III potensi ringan. Aku kurang sepakat dengan strata ini, karena secara farmakologi itu kurang tepat. Seorang yang menggunakan 1 gram candu/opium dengan 1 gram morfin, potensinya besar mana untuk menghasilkan efek farmakologi dan ketergantungan? Tentunya lebih poten morfin, karena morfin adalah zat aktif dari candu/opium. Dengan demikian, penggolongan menjadi tidak tepat, karena morfin adalah golongan 2 dan opium golongan pertama. Aku usulkan bahwa kata sangat itu tidak perlu, karena kedua golongan itu sama-sama menyebabkan ketergantungan. Dan jika akan dibuat strata, harus jelas parameternya seperti apa dikatakan sangat, dan yang tidak sangat. Jadi poin-nya lebih pada penggunaannya di dalam terapi, apakah sudah teruji dan sesuai dengan indikasi medis. Golongan I tidak digunakan dalam terapi, sedangkan golongan II dapat digunakan dalam terapi. Dan untuk digunakan dalam terapi tentunya asas-asas sebagai obat juga harus jelas, yaitu terkait dengan kadar zat aktif, dosis, cara penggunaan, bentuk sediaan, dll.

cannabisSelanjutnya aku memaparkan tentang ganja, senyawa apa saja yang terkandung dan efek-efek serta mekanismenya. Ganja atau Cannabis sativa adalah tanaman yang mengandung berbagai senyawa penyusun. Senyawa psikoaktif pada ganja adalah tetrahidrocanabinnol (THC), yang bekerja pada reseptor cannabinoid. Reseptor ini sendiri cukup menarik, karena ditemukan baru pada tahun 1987-an pada manusia, dan dia juga berperan dalam berbagai fungsi fisiologis. Aku memprediksikan, di masa depan reseptor ini juga akan menjadi target aksi obat-obat seperti halnya “kakaknya” reseptor opiat yang telah ditemukan lebih dulu dan sudah banyak sekali obat-obat sintetik yang dikembangkan yang bekerja pada reseptor ini. Sebuah International Society on Cannabinoid Research bahkan sudah didirikan, yang berfokus pada penelitian tentang sistem cannabinoid.

Berarti ganja bisa dijadikan obat dong? Berarti bukan golongan I narkotika?

DronabinolEitt…tunggu dulu… pertanyaan itu akan sebanding dengan “ Berarti candu bisa dijadikan obat dong?.. Yups, jawaban atas pertanyaan ini sama, yaitu: ..Ya, candu maupun ganja dapat dikembangkan menjadi obat. Buktinya, banyak obat-obat turunan candu yang sudah dipakai secara legal dalam pengobatan seperti morfin, petidin, kodein, fentanil, dll. Apakah ada obat yang berasal dari ganja/cannabis?..Ya, ada dronabinol (Marinol), nabilon, dll. yang diindikasikan sebagai anti mual muntah pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi, dan sebagai peningkat nafsu makan pada pasien HIV/AIDS.  Memang jumlahnya masih sedikit, karena seperti yang disampaikan tadi, reseptor cannabinoid ini belum lama ditemukan dan dikembangkan sebagai target aksi obat. Sangat mungkin di masa depan akan dikembangkan turunan2 cannabinoid lainnya.

Nah, berarti posisi tanaman candu dan ganja sama kan? Sebagai sumber senyawa psikoaktif. Kalau ganja akan diperjuangkan keluar dari UU narkotika, mestinya tanaman candu juga demikian…  itu akan lebih fair… Tapi bukan demikian kan?

Ada kriteria lain untuk tetap digolongkan dalam narkotika golongan 1, yaitu potensinya menyebabkan ketergantungan. Semua senyawa psikoaktif menyebabkan adiksi, walaupun dengan potensi yang berbeda-beda. Mengapa? Ya karena mekanismenya menyebabkan adiksi berbeda-beda.  Adiksi sendiri secara medik didefinisikan sebagai gangguan kambuhan yang bersifat kronis, yang dikarakterisir oleh adanya dorongan untuk mencari dan menggunakan obat, kehilangan kontrol terhadap pembatasan penggunaan obat, dan munculnya emosi negatif (dysphoria, anxiety, irritability) jika tidak mendapatkan obat, walaupun mengetahui efek buruk pengunaan obat tersebut.

Mengapa orang bisa adiksi terhadap obat/zat?

Secara awam, adiksi atau ketagihan adalah keinginan untuk mengulang dan mengulang lagi karena mendapatkan efek yang menyenangkan. Bagaimana mekanismenya? Semua zat yang membuat ketagihan umumnya bekerja melibatkan “sistem reward” di otak, yang melibatkan neurotransmiter dopamin. Dopamin akan bekerja pada reseptornya memicu sistem reward, dan menimbulkan rasa senang. Hal ini menyebabkan orang ingin mengulang dan mengulang lagi utk mendapat kesenangan yg sama. Yang berbeda antar zat adalah pada mekanismenya. Senyawa opiat bekerja melalui reseptor opiat, senyawa kokain dan golongan amfetamin bekerja dengan menghambat reuptake dopamin dan serotonin, senyawa ganja beraksi pada reseptor cannabinoid, yang semuanya nanti dapat mengarah pada picuan sistem reward. Jadi, intensitas adiksinya juga berbeda-beda. Selain itu, reaksi putus obat-nya juga berbeda-beda tergantung pada sifat zatnya. THC dari ganja bersifat sangat lipofilik (larut dalam lemak), sehingga ia berada di jaringan lemak tubuh cukup lama. Sekali dikonsumsi, ganja akan tinggal dalam tubuh cukup lama, dan baru tereliminasi sempurna setelah 30-an hari.  Hal ini menyebabkan gejala putus obat yang ringan pada pengguna ganja, dibandingkan dengan obat-obat opiat.

Apakah dengan demikian ganja tidak berbahaya?

Penelitian tentang efek-efek bahaya ganja sudah cukup banyak dipublikasikan. Beberapa diantaranya menekankan pada efeknya terhadap peningkatan gejala psikotik (gangguan jiwa), berkurangnya kemampuan kognitif, dan pada efek fisiologis lainnya. Aku sendiri memaparkan suatu fakta (walaupun masih mungkin diperdebatkan) yang mendukung “gateway theory” dari hasil penelitian cukup baru (Addictive Behaviours. 2012 Feb; 37(2):160-6) bahwa ganja merupakan “gateway” bagi penggunaan obat-obat terlarang lainnya. Dengan kata lain, sekali menggunakan cannabis kecenderungan mencoba obat-obat terlarang yang lain kemungkinannya menjadi lebih besar. Disebutkan bahwa risiko memulai penggunaan obat-obat terlarang lainnya adalah 124 kali lebih tinggi pada pengguna ganja kronis dibandingkan bukan pengguna.

Jadi, kalaupun secara fisiologis nampaknya efek ganja lebih ringan dari senyawa psikoaktif lainnya, hal lain yang perlu menjadi perhatian dan pertimbangan adalah dampak psikososialnya. Sebagian besar penggunaan ganja adalah untuk tujuan rekreasional, untuk melarikan diri dari masalah, atau untuk mendapatkan performance yang mungkin bukan sesungguhnya. Beberapa kasus penggunaan ganja banyak dijumpai pada seniman yang katanya akan bisa meningkatkan kreativitasnya. Menurutku ini akan meninggalkan generasi yang lemah, yang tidak bisa memecahkan masalah, yang “penipu” karena tidak menunjukkan kemampuan sebenarnya (performance-nya akan bagus kalau di bawah pengaruh ganja), belum lagi dampak-dampak psikososial lainnya.

Bahwa ada manfaat pohon ganja yang bisa menghasilkan serat seperti yang disampaikan oleh teman-teman LGN, itu sah-sah saja. Tapi memangnya tidak ada sumber serat lainnya yang tidak berisiko meninggalkan dampak lebih luas???? Tanaman di Indonesia masih banyak sekali jenisnya, dan masih mungkin sekali dieksplorasi utk menghasilkan serat yang sama bagusnya atau lebih bagus dari serat ganja.

Jadi, kalaupun ada sedikit revisi mengenai kriteria penggolongan narkotika, aku tetap berpendapat bahwa tanaman ganja tetap berada dalam satu golongan dengan tanaman-tanaman penghasil senyawa psikoaktif lainnya, seperti Papaver somniferum (candu), Erythroxylon coca (penghasil kokain), dan termasuk tanaman Catha edulis (penghasil katinon) yang sekarang belum masuk dalam UU. (Jadi perlu ada revisi juga dalam daftar senyawa/tanaman yang masuk dalam golongan2 tersebut.)

Pembicara ke-empat yaitu Prof.Edy O.S Hiarriej, dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM, mengkritisi dari sisi hukum. Ganja bersifat psikoaktif terutama terhadap aktivitas mental dan perilaku. Ia tidak menyebabkan sindrom ketergantungan atau withdrawal syndrome, tidak menyerang susunan saraf pusat seperti heroin, kokain dan jenis narkotika lainnya, namun sebaiknya masih mendapatkan posisi di undang-undang Narkotika. Sesuai dengan hukum Indonesia yang masih banyak berkiblat pada Negeri Belanda (walaupun sekarang hukum sudah mulai berkembang dengan mengacu pada beberapa negara lain), undang-undang narkotika masih humanis. Prof. Edy lebih menyoroti tentang hukuman pengguna murni yang sepatutnya berupa rehabilitasi. Rehabilitasi merupakan jalan terbaik dan humanis bagi pengguna narkoba itu sendiri. Prof Eddy mendukung usulanku untuk merevisi UU narkotika, dan beliau lebih menekankan dari aspek hukumnya yaitu mengenai hukuman bagi pelanggar UU Narkotika yang semestinya berdasarkan kualitas perbuatannya, bukan pada penggolongan narkotikanya.

Dalam hal gateway theory yang aku singgung terkait dengan ganja, sisi kriminologi mempunyai sudut pandang berbeda. Menurut Prof. Edy, gateway untuk sebuah tindakan kriminal adalah potensi untuk melakukan kejahatan. Semua orang memiliki potensi yang sama. Namun jika seseorang telah “berhasil” melakukan kejahatan pertama, maka itu akan meningkatkan kemungkinan melakukan kejahatan selanjutnya. Yah, whatever lah… masing-masing boleh memiliki sudut pandang yang berbeda. Tapi menurutku, dengan sudut pandang kesehatan, lebih baik preventif daripada kuratif. Mencegah penggunaan ganja diharapkan akan mencegah penggunaan obat-obat terlarang lainnya.

Akhir dari Seminar

Seminar ini ditutup dengan tanya jawab. Sesi ini melibatkan beberapa peserta yang mengkritisi undang-undang narkotika hasil paparan masing-masing pembicara. Beberapa pertanyaan tersebut mempertajam pentingnya untuk memperkuat dasar hukum narkotika. Riset ini sebaiknya merupakan kolaborasi banyak pihak, baik BPOM, Kementrian Kesehatan dan BNN. Pihak BNN sendiri pernah melakukan penelitian bekerja sama dengan Universitas Indonesia (Institusi pendidikan tinggi) untuk prevalensi pengguna tahun 2011. Hasil penelitian tersebut, prevalensi pengguna narkoba tercatat 2,2 % dari jumlah penduduk yang rentan di Indonesia sedangkan 2,8% diantaranya warga Yogya. Tema prevalensi menjadi topik tersendiri yang perlu dikembangkan. Pusat penelitian narkotika terutama tentang ganja menjadi hal yang penting sekarang.

Rehabilitasi menjadi kesimpulan semua pihak sebagai hukuman pencandu dan pengguna yang paling humanis. Rehabilitasi yang dilakukan berupa rehabilitasi fisik dan sosial. Dinas kesehatan diharapkan membuat tim, apakah orang itu direhabilitasi atau tidak. Peraturan Pemerintah berkaitan dengan wajib lapor, memberikan kesempatan bagi pecandu untuk direhabilitasi supaya mereka terbebas dari jeratan narkoba. Menteri kesehatan juga mendukung program tersebut dengan membentuk IPWl (institusi penerima wajib lapor). Pecandu yang dirujuk ke IPWL mendapatkan layanan kesehatan. Proses pidana maupun masa tahanan tetap dihitung saat dilakukan rehabilitasi. Di jogja ditunjuk 8 institusi yang melayani rehabilitasi, RS Grasia, RSUP dr.Sardjito, RSUD kota Jogja, Puskesmas Umbul Harjo, Puskesmas Gedong Kuning, dan Puskesmas Banguntapan II. Rehabilitasi sosial dilayani di PSPP Purwomartani, dan  Kunci. Rehabilitasi menghindari overkriminalisasi penegakan hukum karena semakin banyak negara mengkriminalkan sesuatu menunjukkan bahwa negara tidak mampu melindungi warga negaranya sendiri.

Pada intinya, perlu adanya riset ganja yang dilakukan di Indonesia (tidak hanya mengacu pada penelitian luar negeri) untuk mendasari produk hukum dan adanya inisiatif banyak pihak untuk mengkoreksi undang-undang narkotika.

Begitulah….mungkin tidak semua pihak puas dengan hasil seminar ini, tapi setidaknya aku sudah berupaya menyumbangkan pemikiranku mengenai UU narkotika ini. Aku juga mengajak teman-teman LGN, jika memang ingin melakukan penelitian-penelitian, ayo buatlah roadmap penelitian yg jelas, mau diarahkan kemana riset tentang ganja. Buatlah proposal-proposal yang bagus dengan disain penelitian yang sesuai. Jika memenuhi syarat akademik dan saintifik, mengapa tidak bekerjasama saja, asal ada dananya dan ijin untuk melakukannya. Ini akan lebih positif dan obyektif untuk menegakkan status ganja di bumi Indonesia, tidak bertahan sebagai polemik saja.

Sebenernya ada satu hal yang ingin aku tanyakan, karena memang benar-benar awam hukum, terkait dengan legalisasi, tapi kemarin waktunya terbatas. Sebenarnya sampai sejauh mana sih legalisasi yang diinginkan? Menurutku, legalisasi adalah hal yang tidak berkaitan dengan penggolongan ganja dalam UU. Morfin, petidin, kodein (golongan II dan III narkotika) adalah legal digunakan selama itu sesuai dengan prosedur yang berlaku, misalnya harus dengan resep dokter, dst. Jadi tidak ada masalah kan? Masuk dalam UU narkotika bisa tetap legal kan? Kenapa harus maksain keluar dari UU narkotika?  Jadi, menurutku jika ganja sudah dibuat dalam bentuk obat yang terstandar dan teruji memberikan efek terapi, seperti dronabinol atau nabilon, maka penggunaannya juga akan legal. Jadi masalahnya di mana?  Jika yang dimaui adalah penggunaan legal untuk tujuan rekreasional, nah… ini yang menjadi pertanyaan…. ada hidden agenda apa? Mau dibawa kemana generasi muda bangsa ini?
Read »

Ganja Bisa Membuka Wawasan

Fenomena Ganja ACEH : Potensi Atau Proteksi?
Tak dapat dipungkiri bahwa potensi ganja di Aceh mampu menutup defisit APBD di setiap kabupaten/kota yang memiliki ladang ganja. Ganja juga memiliki mamfaat dari sisi medis dan farmasi. Tapi, secara hukum ganja tetap dilarang dan merupakan jenis narkotika yang berbahaya.

Bercerita tentang ganja di republik ini haruslah sangat hati-hati. Indonesia mengeluarkan undang-undang tentang larangan proses produksi, distribusi sampai tahap konsumsi dari tanaman ganja. Undang-undang No. 22 1997 tentang Narkotika mengklasifikasikan ganja; biji, buah, jerami, hasil olahan atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis sebagai narkotika golongan I yang berarti satu kelas dengan opium dan kokain. Pasal 82 ayat 1 butir a UU tersebut menyatakan bahwa mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Hukuman yang sangat berat tapi jarang ada yang sampai proses hukuman mati.

http://rastayoman.blogspot.com/2013/11/ganja-membuka-wawasan.htmlAda pertanyaan besar yang sering membuat kita bingung dan penasaran; mengapa ganja itu dilarang padahal sangat subur tumbuh di Aceh. Ganja itu sebuah anugerah atau musibah?. Apa sebenarnya kandungan dari ganja itu? Apa ada manfaatnya? Apakah ada negara lain yang melegalkan ganja?. Darimana asal muasal ganja?. Seorang teman saya mahasiswa S3 Pertanian di UGM pernah menyatakan keinginannya untuk meneliti ganja lebih mendalam, namun karena proses perizinan yang rumit dan risiko yang besar membuat dia berpikir kembali tentang risetnya itu.

Secara historis ganja pertama kali ditemukan di Cina pada tahun 2737 SM. Masyarakat Cina telah mengenal ganja sejak zaman batu. Mereka menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari, sebagai bahan pakaian, obat-obatan, dan terapi penyembuhan seperti penyakit rematik, sakit perut, beri-beri hingga malaria. Cannabis juga digunakan untuk minyak lampu dan bahkan untuk upacara keagamaan. Secara esensial ganja sendiri yang pasti adalah tumbuhan liar biasa layaknya rumput yang tumbuh dimana saja. Hanya saja, ganja tidak sembarang tumbuh di tanah. Ganja memerlukan kultur tanah yang berbeda dan cuaca wilayah yang mendukung.. Sebutan lain ganja adalah mariyuana, yang berasal dari bahasa Portugis yaitu Mariguango yang berarti barang yang memabukkan. Untuk bahasa ilmiahnya disebut Cannabis. Istilah ganja dipopulerkan oleh kaum Rastafari, kaum penganut sekte Rasta di Jamaika yang berakar dari Yahudi dan Mesir.

Seiring dengan perkembangan dunia medis dan industri, negara-negara maju mulai mempertimbangkan untuk menjadikan serat ganja sebagai bahan minyak bakar karena prosesnya yang mudah dan aman dari kebakaran (mungkin cocok sebagai substitusi tanaman jarak sebagai sumber energi di Indonesia). Karena kandungan minyaknya yang aman dan lain dari minyak olahan biasa seperti minyak kelapa sawit. Selain minyak, serat tanaman yang disebut juga hemp ini sangat bagus, keunggulan seratnya dapat mengalahkan serat kapas. Dari tanaman ini, bisa diproduksi bahan tekstil, kertas, lapisan rem dan kopling hingga untuk tali. Amerika Serikat pada Perang Dunia II sempat menggunakan serat tanaman hemp ini untuk tali kapal bagi para tentaranya, khususnya pada armada laut. Dari sisi medis, komposisi kimia yang terkandung dalam ganja adalah Cannibanol, Cannabidinol atau THC yang terdiri dari Delta -9- THC dan Delta -8- THC.

Delta -9- THC sendiri mempunyai efek mempengaruhi pola pikir otak manusia melalui cara melihat sesuatu, mendengar, dan mempengaruhi suasana hati pemakainya. Selain Delta -9- THC, ada 61 unsur kimia lagi yang sejenis dan lebih 400 bahan kimia lainnya yang beracun.

Delta -9- THC diyakini para ilmuwan medis mampu mengobati berbagai penyakit, seperti daun dan biji, untuk membantu penyembuhan penyakit tumor dan kanker. Akar dan batangnya bisa dibuat menjadi jamu yang mampu menyembuhkan penyakit kejang perut (kram), disentri, anthrax, asma, keracunan darah, batuk, diare, luka bakar, bronchitis, dan lain-lain. Dalam dunia kedokteran, bahan kimia pada ganja mempunyai sifat-sifat yang membantu penyembuhan penyakit dalam tubuh, seperti tonic (penguat), analgesic, stomachic dan antispasmodic (penghilang rasa sakit), sedative dan anodyne (penenang), serta intoxicant (racun keras).

Di Inggris terdapat sebuah lembaga Marijuana Center, lembaga yang melakukan penelitian tanaman ini secara medis dan farmasi. Hasilnya, mariyuana tetap diandalkan dan menjadi obat yang ampuh. Seperti pasien yang lumpuh, ketika menjalani terapi dengan mariyuana bisa sembuh, dapat berjalan kembali layaknya orang normal, tidak impoten, dan mempunyai daya ingat yang tinggi. Di Kanada, pihak pemerintah berencana melegalisasikan ganja dan bentuk obat-obatan dan kebutuhan farmasi lainnya. Pemerintah Kanada mulai mengijinkan pembelian ganja dengan resep dokter di apotek-apotek lokal. Satu ons dijual sekitar $113 dan ganja dikirim melalui kurir ke pasien atau dokter mereka. Telah banyak pasien yang melaporkan bahwa ganja mengurangi rasa mual pada penderita AIDS dan penyakit lainnya. Hal ini yang mendukung pemerintah untuk semakin memantapkan pelegalisasian ganja.

Ganja Aceh
Membicarakan ganja tidak akan lepas dari Aceh. Provinsi ini terkenal dengan tanaman ganja yang hampir tersebar di seluruh hutan-hutan lebat di Aceh. Bahkan Aceh diisukan menjadi ladang ganja terbesar di Asia Tenggara, selain Thailand. Orang Aceh telah menggunakan ganja dari dulu sebagai ramuan makanan dan bumbu masak. Namun saat ini jarang ditemui masakan Aceh yang memakai bahan ganja untuk ramuan masakan, Kondisi geografis Aceh yang mendukung, tanah yang subur, hujan yang teratur, dan posisi pegunungan dengan iklim yang relative stabil membuat ganja mampu tumbuh subur. Di hutan-hutan Aceh, tersebar hampir ribuan hektar ladang ganja. Dari Kabupaten Bireuen, Aceh Besar, Aceh Tenggara, Aceh Barat Daya, Aceh Tengah, dan Aceh Utara. Dalam satu bulan saja, aparat kepolisian bisa menemukan ratusan hektar ganja, seperti di Peudada (Bireuen), Lamteuba (Aceh Besar), Kutacane (Aceh Tenggara), dan Blang Pidie (Aceh Barat Daya). Padahal dalam satu bulan tersebut, operasi dilakuan oleh aparat itu belum maksimal, karena medan yang harus dilalui sangat berat, disamping tidak adanya informasi ladang-ladang lainnya yang masih tersebar luas.

Kabupaten Bireuen disinyalir mempunyai ladang ganja terluas di Aceh. Diperkirakan ada 44 titik ladang ganja yang tersebar di enam lokasi di lima kecamatan. Dalam satu kali operasi di Bireuen saja aparat bisa menemukan 20-90 hektar ladang ganja. Bayangkan jika biasanya satu hektar ladang ganja akan menghasilkan 100 kilogram ganja siap pakai dengan harga lokal Rp. 200 ribu per kilogram maka sekali panen bisa menghasilkan omzet Rp. 20 juta. Jika sampai di Medan dan sekitarnya harga ganja sudah melambung mencapai Rp. 700 ribu per kilogram. Di Jakarta dan kota-kota lainnya di Jawa, harga ganja untuk partai besar mencapai Rp. 2 juta per kilogram atau Rp. 200 juta per hektar. Harga eceran justru lebih tinggi lagi yakni melonjak sampai Rp. 3,5 juta. Walau belum ada data faktual, katakanlah jumlah total ladang ganja di Aceh ada 1000 hektar (100 ribu kilogram ganja) dengan asumsi setahun bisa tiga kali panen dengan harga Rp. 3,5 juta per kilogram, maka setiap kali panen omzet per tahun dari tanaman ganja adalah 100 ribu kg x 3,5 juta x 3 = Rp 1,05 triliun per tahun. Sangat fantastis, hampir sepertiga dari jumlah APBD Provinsi Aceh tiap tahunnya. Bayangkan jika hasil tanaman ini di ekspor, perbedaan kurs akan menghasilkan potensi keuntungan yang berlipat, apalagi ganja Aceh mendapat pengakuan telah mencapai standar kualitas dunia. Banyak negara melegalkan ekspor-impor ganja, seperti Swiss dan Belanda yang sering menjadi pasar gelap ganja internasional. Hal ini sangat menggiurkan bagi sebagian orang yang berpikiran pendek untuk mau terlibat dalam transaksi ganja. Mulai dari pelajar, ibu rumah tangga sampai pejabat pun mau menjadi kurir ganja. Tekanan hidup dan ingin cepat kaya menjadi motivasi utama dalam kegiatan ilegal ini.

Jakarta menjadi kota terbesar dalam pemasaran narkoba. Ganja, hasish, shabu, putaw, heroin, kokain, exstasi, hingga acid akan mudah didapat bila sudah masuk dalam ruang lingkup narkoba. Namun menurut penelitian yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2005 disebutkan bahwa prevalensi penyalahgunaan narkoba pada laki-laki menempatkan Jakarta pada posisi ketiga dengan 11,4 % di bawah Medan dan Bandung. Yogjakarta berada pada urutan ke empat dengan 8,5 %. Ketua Pelaksana Harian BNN, Komjen Makbul Padmanegara, mengatakan peredaran narkoba sudah sampai keseluruh wilayah di Indonesia. Dari 200 juta penduduk Indonesia, 1 % atau 2 juta diantaranya positif mengkonsumsi narkoba.

Potensi atau Proteksi
Tak dapat dipungkiri bahwa potensi ganja di Aceh mampu menutup defisit APBD di setiap kabupaten/kota yang memiliki ladang ganja, namun secara hukum ganja tetap dilarang dan merupakan jenis narkotika yang berbahaya. Eksistensi ganja di Aceh tentu ada pengaruh kausalitas, tidak mungkin ganja tumbuh subur di Aceh jika tidak memiliki makna apa-apa. Penelitian menunjukkan ganja juga memiliki manfaat dari sisi medis dan dan farmasi. Mungkinkah kita melihat manfaat dari kesuburan tanaman ini di negeri kita?. Bisakah suatu saat Aceh bisa mengekspor ganja?. Kita tidak tahu, yang jelas Afghanistan mampu mengekspor opium–bahan dasar heroin– dan menjadi penyumbang 92% dari total ekspor dunia dengan konsekuensi 1,4% warga negaranya kecanduan opium. Bolivia, Peru, Ekuador dan Kolombia adalah negara-negara pemasok koka–bahan dasar kokain– terbesar didunia. Dan terbukti produksi opium dan koka di negara-negara tersebut mampu mendorong pertumbuhan ekonomi negara
Sisi Lain Ganja
Ganja pertama kali ditemukan 8000 SM, saat itu umumnya digunakan sebagai bahan tekstil. Ganja dewasa bisa mencapai tinggi empat meter dengan batang bercabang dan digolongkan dalam tanaman perdu. Jumlah daun dalam tiap tangkai selalu dalam jumlah ganjil 5, 7 ato 9. Sedangkan bunganya sudah dapat dilihat pada umur 6 bulan meskipun dalam ukuran yang cukup kecil. Bijinya sendiri berwarna hitam kecoklatan dan mengkilap serta mengandung minyak. Mungkin kalo sedikit penelitian lebih lanjut, ganja bisa dijadikan salah satu sumber minyak alternatif.
Sekarang Ganja lebih dikenal sebagai tumbuhan yang menciptakan euforia. Euforia adalah perasaan senang yang muncul tanpa sebab. Hal Ini dipicu oleh salah satu kandungan yang dimilikinya yakni THC atau tetrahydrocannabinol yang merupakan jenis zat psikoaktif. Istilah lain untuk Ganja adalah marijuana, tampee, pot, weed, dope atau green stuff (slang bahasa Inggris), cimeng atau gele (slang bahasa Indonesia).

THC (tetrahyahocannabinol) dalam ganja terdiri dari Delta -9-THC dan Delta -8-THC. Delta -9-THC mempunyai efek mempengaruhi pola pikir otak manusia melalui cara melihat sesuatu, mendengar, dan mempengaruhi suasana hati pemakainya. Para ilmuwan medis percaya bahwa Delta -9-THC dapat mengobati berbagi penyakit. Misalnya, daun dan biji tanaman cannabis dapat digunakan untuk mengobati penyakit kanker dan tumor. Lalu, akar dan batangnya dapat dibuat ramuan yang mampu menyembuhkan penyakit, diantaranya kram perut, disentri, asma, anthrax, luka bakar, dan lainnya. Di Inggris sendiri terdapat suatu lembaga yang khusus melakukan penelitian terhadap ganja secara medis dan farmasi, yakni Marijuana Center. Hasilnya, kandungan kimia dalam ganja dapat membantu penyembuhan penyakit dalam tubuh antara lain seperti tonic (penguat), analgesic, penghilang rasa sakit, dan penenang. Bahkan efek ganja yang dapat meningkatkan nafsu makan ternyata bagus bagi penderita AIDS dan anorexia nervosa yang perlu dibangkitkan selera makannya. Sedangkan perasaan teler atau melayang dikaitkan dengan keceriaan atau tertawa yang konon dapat membantu kekuatan penyembuhan tubuh dan jiwa. Ganja telah lama dikenal manusia dan digunakan sebagai bahan pembuat kantung karena serat yang dihasilkannya kuat. Biji ganja juga digunakan sebagai sumber minyak.
Selain diklaim sebagai pereda rasa sakit, dan pengobatan untuk penyakit tertentu (termasuk kanker), banyak juga pihak yang menyatakan adanya lonjakan kreatifitas dalam berfikir serta dalam berkarya (terutama pada para seniman dan musisi.Berdasarkan penelitian terakhir, hal ini (lonjakan kreatifitas), juga di pengaruhi oleh jenis ganja yang digunakan. Salah satu jenis ganja yang dianggap membantu kreatifitas adalah hasil silangan modern “Cannabis indica” yang berasal dari India dengan “Cannabis sativa” dari Barat, dimana jenis Marijuana silangan inilah yang merupakan tipe yang tumbuh di Indonesia.
Di sejumlah negara penanaman ganja sepenuhnya dilarang. Namun di beberapa negara lain, penanaman ganja diperbolehkan untuk kepentingan pemanfaatan seratnya. Syaratnya adalah varietas yang ditanam harus mengandung bahan narkotika yang sangat rendah atau tidak ada sama sekali.
Ganja tidak selalu identik dengan hal-hal negatif. Banyak juga hal-hal positif yang bisa dimanfaatkan dari tanaman ini
“Ganja tidak selalu identik dengan hal-hal negatif. Banyak juga hal-hal positif yang bisa dimanfaatkan dari tanaman ini sejauh pemanfaatannya dalam batas yang wajar dan tidak disalahgunakan.”
Read »

UU Narkoba Untuk Pecandu Narkoba Hakim Belum Mengerti

http://rastayoman.blogspot.com/2013/11/hukuman-bagi-pengguna-narkoba.html
Banyak Hakim Belum Mengerti UU Narkoba untuk Pecandu Narkoba
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol Anang Iskandar menyatakan masih banyak hakim di pengadilan tindak pidana belum mengerti dengan Undang-undang Narkoba untuk pecandu.

"Hal ini dibuktikan masih banyaknya hakim yang memutuskan bersalah dan akhirnya pecandu dipidana bersama dengan pengedar narkoba," kata Anang pada acara Dekriminalisasi Penyalahgunaan Narkoba yang dihadiri pejabat daerah dan lembaga adat di Pekanbaru, Riau, Senin (30/9).

Menurut dia, sikap hakim yang tidak bisa membedakan pengguna narkoba dan pengedar narkoba sangat disayangkan. Hal itu berdampak negatif pada upaya pemerintah dalam membasmi jaringan peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang. Untuk itu, Anang mengharapkan hakim belajar untuk lebih mengerti UU terkait narkoba untuk kalangan pecandu atau pengguna narkoba.

Menurut dia, pecandu tidak bisa disamakan dengan kelompok pengedar narkoba yang memang harus dihukum berat. "Pecandu atau pengguna pada dasarnya adalah korban narkoba. Jadi selayaknya mereka mendapat perhatian pemerintah dengan hak rehabilitasi atau penyembuhan. Bukan malah dihukum layaknya pengedar," tandasnya.

Untuk diketahui juga, tambah Anang, sejatinya para hakim dapat menempatkan pengguna narkoba di tempat rehabilitasi. "Tapi faktanya, selama ini para hakim lebih sering menjerat pengguna narkoba dengan pasal 111, 112, 114 UU 35/2009 tentang Narkotika dengan hukuman pidana penjara hingga pidana mati. Padahal, sebenarnya tidak," ujarnya.

Menurut dia, sebenarnya hakim bisa memutuskan para terdakwa Pengguna Narkoba dengan pasal 54 UU 35/2009 yang dapat menetapkan pengguna bisa direhabilitasi atau disembuhkan dari ketergantungan," katanya.

Ia mengatakan hakim harus meninggalkan paradikma lama dan menggunakan paradikma baru tentang narkoba. "Di mana pecandu atau pengguna bukanlah pelaku kejahatan, melainkan korban yang butuh perhatian pemerintah,"
  Di terbitkan oleh: http://rastayoman.blogspot.com/

- Badan Narkotika Nasional
- Evek Samping Ganja
- Hukuman Bagi Pengguna Narkoba
- Efek Samping Ganja
- Bahaya Dan Manfaat Ganja
- Zat yang Bisa Nenghentikan kecanduan Ganja
Read »

SEJARAH BNN

Sejarah

Sejarah penanggulangan bahaya Narkotika dan kelembagaannya di Indonesia dimulai tahun 1971 pada saat dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional (BAKIN) untuk menanggulangi 6 (enam) permasalahan nasional yang menonjol, yaitu pemberantasan uang palsu, penanggulangan penyalahgunaan narkoba, penanggulangan penyelundupan, penanggulangan kenakalan remaja, penanggulangan subversi, pengawasan orang asing.

Berdasarkan Inpres tersebut Kepala BAKIN membentuk Bakolak Inpres Tahun 1971 yang salah satu tugas dan fungsinya adalah menanggulangi bahaya narkoba. Bakolak Inpres adalah sebuah badan koordinasi kecil yang beranggotakan wakil-wakil dari Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Departemen Luar Negeri, Kejaksaan Agung, dan lain-lain, yang berada di bawah komando dan bertanggung jawab kepada Kepala BAKIN. Badan ini tidak mempunyai wewenang operasional dan tidak mendapat alokasi anggaran sendiri dari ABPN melainkan disediakan berdasarkan kebijakan internal BAKIN.

Pada masa itu, permasalahan narkoba di Indonesia masih merupakan permasalahan kecil dan Pemerintah Orde Baru terus memandang dan berkeyakinan bahwa permasalahan narkoba di Indonesia tidak akan berkembang karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Pancasila dan agamis. Pandangan ini ternyata membuat pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia lengah terhadap ancaman bahaya narkoba, sehingga pada saat permasalahan narkoba meledak dengan dibarengi krisis mata uang regional pada pertengahan tahun 1997, pemerintah dan bangsa Indonesia seakan tidak siap untuk menghadapinya, berbeda dengan Singapura, Malaysia dan Thailand yang sejak tahun 1970 secara konsisten dan terus menerus memerangi bahaya narkoba.

Menghadapi permasalahan narkoba yang berkecenderungan terus meningkat, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Berdasarkan kedua Undang-undang tersebut, Pemerintah (Presiden Abdurahman Wahid) membentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN), dengan Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999. BKNN adalah suatu Badan Koordinasi penanggulangan narkoba yang beranggotakan 25 Instansi Pemerintah terkait.

BKNN diketuai oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) secara ex-officio. Sampai tahun 2002 BKNN tidak mempunyai personel dan alokasi anggaran sendiri. Anggaran BKNN diperoleh dan dialokasikan dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri), sehingga tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal.

BKNN sebagai badan koordinasi dirasakan tidak memadai lagi untuk menghadapi ancaman bahaya narkoba yang makin serius. Oleh karenanya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional, BKNN diganti dengan Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN, sebagai sebuah lembaga forum dengan tugas mengoordinasikan 25 instansi pemerintah terkait dan ditambah dengan kewenangan operasional, mempunyai tugas dan fungsi: 1. mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba; dan 2. mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba.

Mulai tahun 2003 BNN baru mendapatkan alokasi anggaran dari APBN. Dengan alokasi anggaran APBN tersebut, BNN terus berupaya meningkatkan kinerjanya bersama-sama dengan BNP dan BNK. Namun karena tanpa struktur kelembagaan yang memilki jalur komando yang tegas dan hanya bersifat koordinatif (kesamaan fungsional semata), maka BNN dinilai tidak dapat bekerja optimal dan tidak akan mampu menghadapi permasalahan narkoba yang terus meningkat dan makin serius. Oleh karena itu pemegang otoritas dalam hal ini segera menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Propinsi (BNP) dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota (BNK), yang memiliki kewenangan operasional melalui kewenangan Anggota BNN terkait dalam satuan tugas, yang mana BNN-BNP-BNKab/Kota merupakan mitra kerja pada tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing bertanggung jawab kepada Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota, dan yang masing-masing (BNP dan BN Kab/Kota) tidak mempunyai hubungan struktural-vertikal dengan BNN.

Merespon perkembangan permasalahan narkoba yang terus meningkat dan makin serius, maka Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Tahun 2002 telah merekomendasikan kepada DPR-RI dan Presiden RI untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR-RI mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 1997. Berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2009 tersebut, BNN diberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika. Yang diperjuangkan BNN saat ini adalah cara untuk MEMISKINKAN para bandar atau pengedar narkoba, karena disinyalir dan terbukti pada beberapa kasus penjualan narkoba sudah digunakan untuk pendanaan teroris (Narco Terrorism) dan juga untuk menghindari kegiatan penjualan narkoba untuk biaya politik (Narco for Politic).

Tugas dan Fungsi

Kedudukan :

Badan Narkotika Nasional yang selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebut BNN adalah lembaga pemerintah non kementerian yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab LANGSUNG kepada Presiden melalui koordinasi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. BNN dipimpin oleh Kepala.

Tugas :

    Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
    Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
    Berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
    Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;
    Memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
    Memantau, mengarahkan dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Psikotropika Narkotika;
    Melalui kerja sama bilateral dan multiteral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
    Mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika;
    Melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
    Membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.

Selain tugas sebagaimana diatas, BNN juga bertugas menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol.

Fungsi :


    Penyusunan dan perumusan kebijakan nasional di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan prekursor serta bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang selanjutnya disingkat dengan P4GN.
    Penyusunan, perumusan dan penetapan norma, standar, kriteria dan prosedur P4GN.
    Penyusunan perencanaan, program dan anggaran BNN.
    Penyusunan dan perumusan kebijakan teknis pencegahan, pemberdayaan masyarakat, pemberantasan, rehabilitasi, hukum dan kerjasama di bidang P4GN.
    Pelaksanaan kebijakan nasional dan kebijakna teknis P4GN di bidang pencegahan, pemberdayaan masyarakat, pemberantasan, rehabilitasi, hukum dan kerjasama.
    Pelaksanaan pembinaan teknis di bidang P4GN kepada instansi vertikal di lingkungan BNN.
    Pengoordinasian instansi pemerintah terkait dan komponen masyarakat dalam rangka penyusunan dan perumusan serta pelaksanaan kebijakan nasional di bidang P4GN.
    Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi di lingkungan BNN.
    Pelaksanaan fasilitasi dan pengkoordinasian wadah peran serta masyarakat.
    Pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
    Pelaksanaan pemutusan jaringan kejahatan terorganisasi di bidang narkotika, psikotropika dan prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol.
    Pengoordinasian instansi pemerintah terkait maupun komponen masarakat dalam pelaksanaan rehabilitasi dan penyatuan kembali ke dalam masyarakat serta perawatan lanjutan bagi penyalahguna dan/atau pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol di tingkat pusat dan daerah.
    Pengkoordinasian peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat.
    Peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi penyalahguna dan/atau pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif tembakau dan alkohol berbasis komunitas terapeutik atau metode lain yang telah teruji keberhasilannya.
    Pelaksanaan penyusunan, pengkajian dan perumusan peraturan perundang-undangan serta pemberian bantuan hukum di bidang P4GN.
    Pelaksanaan kerjasama nasional, regional dan internasional di bidang P4GN.
    Pelaksanaan pengawasan fungsional terhadap pelaksanaan P4GN di lingkungan BNN.
    Pelaksanaan koordinasi pengawasan fungsional instansi pemerintah terkait dan komponen masyarakat di bidang P4GN.
    Pelaksanaan penegakan disiplin, kode etik pegawai BNN dan kode etik profesi penyidik BNN.
    Pelaksanaan pendataan dan informasi nasional penelitian dan pengembangan, serta pendidikan dan pelatihan di bidang P4GN.
    Pelaksanaan pengujian narkotika, psikotropika dan prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol.
    Pengembangan laboratorium uji narkotika, psikotropika dan prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif tembakau dan alkohol.
    Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan kebijakan nasional di bidang P4GN.

Struktur kelembagaan BNN
BNN sebagai lembaga pemerintah non kementerian (sejak 2010)

Susunan organisasi BNN terdiri atas:

    Kepala
    Sekretariat Utama
    Deputi Bidang Pencegahan
    Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat
    Deputi Bidang Pemberantasan
    Deputi Bidang Rehabilitasi
    Deputi Bidang Hukum dan Kerja Sama
    Inspektorat Utama
    Pusat Penelitian, Data, dan Informasi
    Balai Besar Rehabilitasi
    Balai Diklat
    UPT Uji Lab Narkoba
    Instansi vertikal
Read »

Hukuman Bagi Para Pemakai Narkoba

http://rastayoman.blogspot.com/2013/11/hukuman-bagi-pengguna-narkoba.html
Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). 

 Pasal 126 untuk seseorang yang mengonsumsi Narkotika Golongan III

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golognan III untuk digunakan orang lain, dipidana, dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana paling sedikit Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

 Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 127 mengenai penyalahgunaan Narkotika:

    Setiap penyalahguna:
  •     Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. 
  • Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua ) tahun
  • Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
Dalam hal penyalahgunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, orang yang melakukannya wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Selain hukuman untuk pembuat, pengedar dan pengguna Narkotika, Pemerintah juga membuat batasan tertentu untuk melakukan rehabilitasi bagi seseorang yang telah menajadi pecandu. Beberapa ketentuan tersebut terdapat dalam Peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 25 tahun 2011, tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika:

Pasal 1
  • Ayat 1. Wajib lapor adalah kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh pecandu narkotika yang telah cukup umur atau keluarganya, dan / atau orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur kepada institusi penerima wajib lapor untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
  • Ayat 3. Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
  • Ayat 4. Korban penyalahgunaa Narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/ atau diancam untuk menggunakan Narkotika.
  • Ayat 5. Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/ atau dihentikan secara tiba-tiba menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
  • Ayat 6. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika.
  • Ayat 7. Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar mantan Pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
  • Ayat 8. Keluarga adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis menyamping sampai derajat kesatu.
  • Ayat 9. Pecandu Narkotika belum cukup umur adalah seseorang yang dinyatakan sebagai Pecandu Narkotika dan belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan/ atau belum menikah.
  • Ayat 10. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
  • Ayat 11. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak.

Pasal 13, Mengenai Rehabilitasi Bagi Pecandu Narkotika

Pecandu Narkotika yang telah melaksanakan Wajib Lapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Wajib menjalani rehabilitasi medis dan / atau rehabilitasi sosial sesuai dengan rencana rehabilitasi sebagaimana dimasud dalam Pasal 9 ayat (2) tentang hasil tes yang bersifat rahasia.
Kewajiban menjalani rehabilitasi medis dan/ atau rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi Pecandu Narkotika yang diperintahkan berdasarkan;
  • Putusan pengadilan jiag Pecandu Narkotika terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.
  • Penetapan pengadilan jika Pecandu Narkotika tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.
  • Pecandu Narkotika yang sedang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi medis dan / atau rehabilitasi sosial.
 Penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/ atau rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat pemeriksaan setelah mendapatkan rekomendasi dari Tim Dokter.
Ketentuan penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis dan / atau rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) berlaku juga bagi Korban Penyalahgunaan Narkotika.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penempatan dalam lembaga rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan instansi terkait.

Penggolongan 3 tingkat narkotika:

A. Narkotika Golongan I
  • Narkotika yang sangat berbahaya daya adiktifnya sangat tinggi dan hanya untuk pengembangan ilmu pengatahuan saja.
  • Contoh: Ganja, Heroin, Kokain, dan Opium
B. Narkotika Golongan II
  • Memiliki daya adiktif yang kuat, tetapi berguna dalam ilmu pengobatan dan terapi
  • Contoh: Morfin, Benzetidin, Betametadol dan Petidin.
C. Narkotika Golongan III

  • Memiliki daya adiktif yang kurang begitu kuat dan potensi ketergantungannya ringan sehingga banyak digunaka untuk terapi dalam ranah medis.
  • Contoh: Codein, Metadon, dan Naltrexon.
  • irim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana paling sedikit Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).

 ================================================
Read »

Copyright © Kreasi Anak Reggae

Designed by