SEJARAH BIMA (SAPE)

http://rastayoman.blogspot.com/2013/12/sejarah-bima-sape.html
Kakak dari La Kai (Abdul Kahir) yang meninggal di padang Safana, Wera memiliki nama Jena Teke, yang kemudian diberi gelar Ruma Ta Ma Mbora di Mpori Wera, sesuai dengan tempat dan cara beliau menemui ajalnya. Karena kematiannya, pewaris tahta pun beralih kepada adiknya
La Kai dengan gelar Ruma Ta Ma Bata Wadu sesuai dengan keputusan Dewan Hadat. Orang tua dari La Kai dan Jena Teke bernama Raja Sawo, sementara paman dari keduanya yang merampas kekuasaan bernama Raja Salisi.
Oleh karena itu, bagi Raja Salisi La Kai dan Jena Teke adalah musuh dalam selimut yang harus segera dienyahkan.

Maka dimulailah upaya untuk menghabisi keduanya, namun rencana jahat tersebut dibocorkan oleh para pejabat kerajaan yang masih loyal kepada Raja Sawo, Bapak dari La Kai dan Jena Teke. Putra mahkota pertama, Jena Teke dikejar hingga Wera dan meninggal dalam pelarian tersebut akibat dibakar dalam padang safana yang luas. Sedangkan untuk pengamanan Ruma Ta Ma Bata Wadu (La Kai), putra mahkota kedua, oleh La Mbila Manuru Bata, putra dari Amalimandai (mantan ketua Dewan Hadat yang terbunuh oleh Raja Salisi akibat menolak melantik Raja Salisi sebagai Raja Bima) menyembunyikan Ruma Ta Ma Bata Wadu di sebuah desa bernama Teke, karena persembnyian ini juga ternyata diketahui oleh Raja Salisi dan kaki tangannya, maka oleh Bumi Paraka, Ruma Ta Ma Bata Wadu bersama pengikutnya dipindahkan lagi ke Desa Kalodu, Wilayah Selatan Bima dan tinggal di sana untuk beberapa waktu.

Sebagai bukti tanda setia kawan untuk senasip dan sepenanggungan, dengan tekad yang bulat untuk merebut kembali tahta kerajaan Bima dari Raja Salis. Dalam kitab sejarah Bima yang dikenal dengan “BO” sumpah ini disebut sumpah Hi’I Ro Ra’a (Bahasa Bima), Hi’i artinya daging dan Ra’a artinya darah, jadi sumpah tersebut adalah sumpah darah daging.

Saat terjadinya perselisihan dan pertikaian yang menyebabkan putra mahkota hidup di pelarian, datanglah perahu layar dari Gowa dan tiba di pelabuhan Sape, Bima (Pantai Timur Bima) yaitu pada tahyn 1028 H. Dalam pelayaran tersebut terdapat para pedagang dari Luwu, Makassar, Tallo dan Bone, juga terdapat para ulama dan mubaligh dari Kesultanan Gowa. Sampai di Sape, mereka menemui Ruma Jara sebagai penguasa Sape yang punya hubungan darah dengan Bone untuk menyampaikan sepucuk surat dari sepupunya di Bone bernama Daeng Malaba. Isi surat tersebut memberitahuan masuknya Islam di kerajaan Gowa, Bone, Tallo dan Luwu serta seruan agar “Ruma Bumi Jara” juga mengikuti mereka memeluk Islam.

Kedatangan rombongan pedagang dan ulama dari Sulawesi ini tersiar hingga sampai kepada Ruma Ta Ma Bata Wadu (La Kai) di pelariannya. La Kai dan pengikutnya melakukan musyawarah dan memutuskan untuk dating ke Sape, mereka bertemu dengan para ulama Islam dan para pedagang di kediaman Ruma Bumi Jara dan berdiskusi dengan mereka seputar Islam dan perkembangan politik di Bima. Ternyata Ruma Ta Ma Bata Wadu tertarik sekali dengan ajaran Islam yang dibawa mereka. Maka tepat pada tahun 1030 H mereka masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat bersama-sama dengan Ruma Bumi Jara. Dalam Kitab sejarah “BO” disebutkan: “Maka pada sepuluh lima hari bulan Rabi’ul Awwal senat 1030, genap Raja berempat itu mengucapkan kalimat syahadat dengan saksi keempat gurunya mubaligh itu”.

Setelah berislam, keempat-nya mengganti nama:

La Kai Ruma Ta Ma Bata Wadu dengan nama Abdul Kahir,
La Mbila dengan nama Jalaluddin,
Ruma Jena Jara Sape dengan nama Awaluddin,
Manuru Bata.

Setelah memeluk islam secara bersama-sama, melahirkan persaudaraan atas iman diantara Ruma Ta Ma Bata Wadu dan dua anak pejabat kerajaan lainnya, Manuru Suntu dan La Mbila Manuru Bata. Maka pasca keempatnya dikhitan sebagai tanda keislaman mereka disebuah bendungan yang bernama Raba Parapi, lahirlah sumpah setia atas nama Allah dan Rasul-Nya. Sumpah tersebut bernama “Sumpah Raba Parapi”, isi sumpah tersebut menurut beberapa sumber adalah sebagai berikut:

1. Memperkukuh kesetiaan kepada putra mahkota La Kai Ruma Ta Ma Bata Wadu (Abdul Kahir),
2. Seorang pun dari mereka tidak boleh tunduk pada pemerintahan siapapun, termasuk Raja Salisi,
3. Ana cucu dan keturunan mereka terikat dengan sumpah tersebut,
4. Jika ada yang melanggar sumpah tersebut sama dengan meminum racun.

Setelah berbagai rentetan peristiwa ini, Ruma Ta Ma Bata Wadu bersama pengikut beserta gurunya dari Gowa meninggalkan Raba Parapi menuju tempat persembunyiannya di Desa Kalodu. Disana mereka mengadakan pengislaman dan membangunkan Masjid bagi masyarakat Kalodu, sehingga Masjid tersebut adalah masjid pertama dalam sejarah Islam di Bima. Setelah itu Mubaligh dari Gowa bertolak kembali ke Makassar. Pada saat itulah Rumata Ma Bata Wadu dan orang Islam lainnya meminta bantuan dari raja Gowa melalui para mubalig untuk melawan pamannya, raja Salisi sebagai penguasa kerajaan Bima saat itu. Dua tahun kemudian datanglah bantuan dari Makassar dan terjadilah pertempuran antara putra Mahkota La Kai dengan raja Salisi. Selama dua kali pertempuran La Kai mengalami kekalahan, pada saat kritis tersebut La Kai dan rombongan berangkat ke Makassar melalui pelabuhan Sape. Di Makasar mereka tinggal di istana dan belajar agama Islam dari Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Tiro (Khathib Sulaiman) sebagai penyiar Islam di yang terkenal di Sulawesi Selatan kala itu.

Sedangkan La Mbila belajar ilmu kemiliteran dan siasat perang dari Karaeng Bontonopo, panglima kerajaan Gowa. Baru pada masa pemerintahan Malikus Said (1639-1655) yang terkenal keras dan taat beragama memerintahkan La Mbila dan orang-orang Bima lainnya untuk kembali memerangi raja Salisi di Bima. La Mbila berangkat dengan perlengkapan terdiri dari sepuluh perahu persenjataan dan sepuluh perahu perbekalan. Pada pertempuran kali ini, pasukan yang dipimpin oleh La Mbila memperoleh kemenangan, sehingga memaksa raja Salisi sebagai penguasa Bima melarikan diri ke pedalaman dan terus dikejar sampai ke Dompu hingga wafat.

Setelah berita kemenangan itu, barulah La Kai dilepaskan oleh raja Gowa (sekaligus mertuanya setelah La Kai mempersunting salah seorang putri Raja Gowa) bersama Ruma Bumi Jara, ikut serta dalam rombongan mereka para mubalig (guru mereka) Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Tiro untuk berangkat ke Bima untuk menyirkan Islam dan memegang kembali tampuk kekuasaan kerajaan Bima dibawah naungan Islam. Rakyat Bima pun semua memeluk Islam kecuali sedikit diantara mereka, sehingga dikenallah kerajaan Bima sebagai sebuah kerajaan dengan sistim Kesultanan Islam dan La Kai menjadi Sultan Bima pertama dengan nama Sultan Abdul Kahir.

Read »

Copyright © Kreasi Anak Reggae

Designed by