Legalisasi Ganja Di Dunia

Ganja Bukan Narkoba
Legalisasi Ganja
 Legalisasi Ganja
    
Rasta atau ganja, biasanya dikenal sebagai “ramuan”, “gulma”, “sinsemilla” (bahasa Spanyol untuk “tanpa biji”) atau “ganja” (dari kata Sansekerta, “Ganjika”, digunakan di India kuno), adalah rohani bertindak, sering disertai dengan studi Alkitab, mereka menganggapnya sebagai sakramen yang membersihkan tubuh dan pikiran, menyembuhkan jiwa, meninggikan kesadaran, memfasilitasi kedamaian, membawa kesenangan, dan membawa mereka lebih dekat ke Jah. Mereka sering membakar rempah saat yang membutuhkan wawasan dari Jah. Pembakaran dari ramuan sering dikatakan penting “untuk itu akan menyengat dalam hati orang-orang yang mempromosikan dan melaksanakan kejahatan dan kesalahan.” Pada abad ke-8, ganja telah diperkenalkan oleh pedagang Arab ke Tengah dan Afrika Selatan, di mana ia dikenal sebagai “dagga” dan Rastas banyak yang mengatakan itu adalah bagian dari budaya Afrika mereka bahwa mereka adalah reklamasi. Hal ini kadang-kadang juga disebut sebagai “penyembuhan bangsa”, sebuah ungkapan diadaptasi dari Wahyu 22:02.

Migrasi dari ribuan orang Hindu dari India ke Karibia di abad ke-20 mungkin telah membawa budaya ini ke Jamaika. Banyak akademisi arahkan ke asal Indo-Karibia untuk sakramen ganjah akibat impor buruh migran India dalam penghapusan-posting landscape Jamaika. “Menggunakan skala besar ganjah di Jamaika … tanggal dari impor diwajibkan India …”( Campbell 110). Berambut gimbal mistik JATA, sering pertapa, dikenal sebagai Sadhus dan / atau Qalandars Sufi, merokok ganja di Asia Selatan selama berabad-abad.

Menurut Rastas banyak, ilegalitas ganja di banyak negara adalah bukti bahwa penganiayaan terhadap Rastafari adalah kenyataan. Mereka tidak terkejut bahwa itu adalah ilegal, dan melihatnya sebagai zat kuat yang membuka pikiran orang terhadap kebenaran – sesuatu sistem Babel, mereka beralasan, jelas tidak mau. Mereka kontras untuk obat alkohol dan lainnya, yang mereka merasa menghancurkan pikiran.

Mereka berpendapat bahwa merokok ganja menikmati sanksi Alkitab, dan merupakan bantuan untuk meditasi dan ketaatan agama. Di antara ayat-ayat Alkitab Rastas kutipan sebagai membenarkan penggunaan ganja:

  • Kejadian 1:11 “Dan Tuhan berkata, Hendaklah bumi itu menumbuhkan rumput, biji rempah menghasilkan, dan pohon buah-buahan yang menghasilkan buah dengan tabiatnya, yang benih itu sendiri, di bumi: dan jadilah demikian.” 
  • Kejadian 1:29 “Dan Tuhan berkata, Lihatlah, Aku telah memberikan kamu segala benih rempah-bearing, yaitu pada saat seluruh muka bumi, dan setiap pohon, di dalam yang merupakan buah dari biji pohon yang menghasilkan, untuk Anda Hal itu harus menjadi daging. ” 
  • Kejadian 3:18 “… engkau akan memakan ramuan lapangan.” 
  • Mazmur 104:14 “Ia causeth rumput untuk tumbuh untuk ternak, dan herbal untuk melayani manusia.” 
  • Amsal 15:17 “Lebih baik adalah makan malam jamu di mana cinta, dari pada lembu beserta mogok dan kebencian.” 
  • Wahyu 22:02 “sungai kehidupan terus mengalir dari tahta Allah, dan di kedua sisi bank ada pohon kehidupan, dan daun dari pohon itu adalah untuk menyembuhkan bangsa-bangsa”

Menurut beberapa Rastafari dan sarjana lain, etimologi dari “ganja” kata dan istilah yang serupa dalam semua bahasa-bahasa Timur Dekat dapat ditelusuri ke “bosm qaneh” Ibrani, yang merupakan salah satu ramuan Allah memerintahkan Musa untuk memasukkan dalam nya persiapan parfum urapan suci dalam Keluaran 30:23; istilah Ibrani juga muncul dalam Yesaya 43:24, Yeremia 6:20; Yehezkiel 27:19, dan Kidung Agung 4:14. Deuterokanonika dan referensi kanonik untuk para leluhur Adam, Nuh, Ibrahim dan Musa “membakar dupa di hadapan Tuhan” juga diterapkan, dan banyak Rastas hari ini mengacu ganja oleh “ishence” istilah – bentuk yang sedikit berubah dari “dupa” kata Inggris . Hal ini juga mengatakan bahwa ganja adalah tanaman pertama yang tumbuh di makam Raja Salomo.

Pada tahun 1998, lalu-Jaksa Agung Amerika Serikat Janet Reno, memberikan pendapat hukum yang Rastafari tidak memiliki hak untuk merokok ganjah agama yang melanggar hukum obat Amerika Serikat ‘. Posisi ini sama di Inggris, di mana, dalam hal Pengadilan Tinggi R. v. Taylor [2002] 1 Cr. App. R. 37, itu menyatakan bahwa larangan Inggris pada penggunaan ganja tidak bertentangan dengan hak untuk kebebasan beragama diberikan berdasarkan Konvensi untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental.
Pada tanggal 2 Januari 1991, di sebuah bandara internasional di tanah airnya di Guam, Ras Iyah Makahna Ben (Benny Guerrero) ditangkap karena memiliki dan impor ganja dan biji. Dia didakwa dengan impor dari bahan yang dikendalikan. Kasus ini didengar oleh AS 9 Circuit Court November 2001, dan di

Mei 2002 pengadilan telah memutuskan bahwa praktek sanksi Rastafari merokok ganja, tapi tak apakah sanksi agama impor ganja. pengacara Guerrero’s Graham Boyd menunjukkan putusan pengadilan adalah “setara dengan anggur katakan adalah suatu sakramen diperlukan untuk beberapa orang Kristen tetapi Anda harus menanam anggur Anda sendiri.”

Pada bulan Juli 2008, namun Mahkamah Agung Italia memutuskan bahwa Rastafari mungkin diizinkan untuk memiliki jumlah yang lebih besar dari ganja secara legal, karena digunakan oleh mereka sebagai sakramen.
Read »

HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Wawasan Kebangsaan: Hak Asasi Manusia (HAM)

Sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendeklarasikan Hak Asasi Manusia (HAM) seiring dengan pendiriannya pada tahun 1945, maka HAM muncul sebagai issue internasional yang selalu menjadi perhatian masyarakat dunia. Namun sayangnya, HAM yang semula lahir dimaksudkan untuk membebaskan umat manusia dari penjajahan dan perbudakan, belakangan justru menjadi senjata ampuh untuk menghidupkan kembali Imperialisme Modern.

Dengan dalih HAM, para Kapitalis mengeruk keuntungan sebesar-besarnya di berbagai sektor ekonomi, tanpa peduli kerugian pihak lain. Dengan dalih HAM pula, negara-negara Kapitalis bersekutu memporak-porandakan berbagai negara yang tidak mereka sukai, secara politik mau pun ekonomi. Bahkan kini, dengan dalih HAM juga, berbagai perilaku anti agama ditumbuh-suburkan  tanpa peduli batasan ajaran agama.

Di Indonesia, HAM menjadi senjata penting bagi kaum Liberal dalam mengusung seluruh programnya. Dengan dalih HAM, kaum Liberal selalu memperjuangankan "penghalalan yang haram" dan "pembelaan yang bathil", seperti legalisasi miras dan ganja, bahkan narkoba, begitu juga positivisasi perjudian dan pelacuran, bahkan formalisasi perkawinan sejenis. Dengan dalih HAM pula, kaum Liberal selalu memperjuangankan "pengharaman yang halal" dan "penolakan yang haq", seperti penolakan terhadap Undang-Undang Penodaan Agama dan Undang-Undang Pornografi, bahkan penolakan terhadap semua Undang-Undang dan Perda-Perda yang bernuansakan Syariat Islam.

Karena itulah, pembahasan tentang HAM dalam Wawasan Kebangsaan menjadi sangat penting, agar HAM tidak dijadikan senjata untuk merontokkan pilar-pilar bangsa dan negara Indonesia.

HAM Menurut Barat

Barat mendefinisikan HAM sebagai hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak lahir secara alami tanpa ada kaitan sama sekali dengan ajaran agama apa pun. HAM dalam pandangan Barat murni merupakan hasil pemikiran dan penetapan akal semata, terlepas sama sekali dari dogma agama.

Definisi tersebut melepaskan ikatan HAM dari doktrin ajaran agama, sehingga norma-norma agama sama sekali tidak menjadi ukuran penting dalam terminologi HAM. Dengan makna HAM seperti ini, maka HAM sering dihadap-hadapkan dengan agama, sehingga HAM sering dipahami sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama. Bahkan karena HAM sering digunakan untuk mengkerdilkan agama, akhirnya HAM dianggap sebagai musuh agama.

Berdasarkan definisi tersebut pula, maka setiap manusia berhak untuk memenuhi kebutuhan biologisnya dengan melakukan aneka hubungan sex yang diinginkannya, sebagaimana setiap manusia berhak untuk makan dan minum apa saja yang disukainya. Karenanya, menurut Barat bahwa perzinahan dan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender) serta aneka penyimpangan sex lainnya, adalah merupakan HAM. Begitu pula mengkonsumsi makanan dan minuman haram, semuanya adalah HAM.

Selain itu, HAM dalam pandangan Barat tidak statis, tapi berubah-ubah tergantung penilaian akal yang dikuasai hawa nafsu terhadap situasi dan kondisi serta kepentingan, karena lepas dari doktrin agama sama sekali. Bisa jadi, sesuatu yang dianggap HAM pada saat ini, namun di kemudian hari tidak lagi dianggap sebagai HAM. Begitu pula sebaliknya, sesuatu yang tidak dianggap HAM pada saat ini, namun di kemudian hari bisa dianggap sebagai HAM.

Misalnya, saat ini mengkonsumsi khamar (miras) di Amerika Serikat dianggap sebagai HAM, bahkan menjadi gaya hidup modern. Padahal pada tahun 1919, pemerintah AS menganggap Miras bukan bagian HAM, bahkan AS menyatakan perang terhadap Miras dan melarangnya sama sekali. Saat itu pemerintah AS mengeluarkan Undang-Undang Anti Miras yang sosialisasinya menelan biaya US $ 60 ribu dan dana pelaksanaannya mencapai Rp.75 Milyar, sesuai dengan nilai mata uang di zaman itu. Dan menghabiskan 250 juta lembar kertas berbentuk selebaran.

Selama 14 tahun pemberlakuan UU Anti Miras di AS, telah dihukum mati sebanyak  300 orang peminum miras dan dihukum penjara sebanyak 532.335 orang. Tapi ternyata, masyarakat AS justru makin hobby meminum miras, yang pada akhirnya memaksa pemerintah mencabut UU Anti Miras pada tahun 1933 M, dan membebaskan miras sama sekali.

Nah, bisa jadi saat ini mengkonsumsi Narkoba dianggap musuh besar HAM di berbagai belahan dunia, namun di kemudian hari justru Narkoba dianggap sebagai HAM, bahkan gaya hidup masa depan, sebagaimana Kasus Miras. Gejala itu sudah mulai ada, misalnya sejak beberapa tahun lalu di Indonesia ada usulan dari Lingkar Ganja Nusantara kepada Badan Narkotik Nasional dan pemerintah serta DPR RI agar melegalisasi ganja.

Itulah sebabnya, HAM dalam pandangan Barat tidak memiliki kaidah dan batasan yang jelas, sehingga manakala definisi HAM mereka berbenturan dengan kepentingan mereka sendiri atau kemauan hawa nafsu mereka, maka mereka berlindung dibalik pengecualian-pengecualian atau ketentuan-ketentuan hukum khusus atau perubahan ketetapan Konvensi HAM.

HAM Menurut Islam


Dalam Islam definisi HAM adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak lahir sebagai karunia Allah SWT, sehingga hak tersebut tidak akan pernah bertentangan dengan Kewajiban Asasi Manusia (KAM) yang telah digariskan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Inti dari KAM adalah kewajiban manusia beribadah kepada Allah SWT sebagaimana firman-Nya dalam QS.51.Adz-Dzaariyaat : 56 yang terjemahnya : "Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." Dengan KAM segenap umat Islam wajib tunduk, patuh dan taat menjalankan semua perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, serta wajib pula meninggalkan segala larangan Allah SWT dan Rasul-Nya, semata-mata hanya untuk mencari ridho-Nya.

Dengan demikian, HAM tidak berdiri sendiri, tapi selalu diikat dengan KAM. Jadi, definisi HAM terikat erat dengan doktrin ajaran agama Islam, sehingga norma-norma agama Islam menjadi tolok ukur paling utama dalam terminologi HAM.
Berdasarkan definisi ini, maka setiap manusia berhak untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, namun harus dengan cara yang dibenarkan Syariat Islam, sebagaimana setiap manusia berhak untuk makan dan minum apa saja yang disukainya, namun tetap dalam batasan makanan dan minuman yang dihalalkan Syariat Islam.

Karenanya, dalam Islam ditegaskan bahwa perzinahan dan LGBT serta aneka penyimpangan sex lainnya, merupakan pelanggaran KAM, sehingga bukan merupakan HAM. Begitu pula mengkonsumsi makanan dan minuman haram, semuanya pelanggaran KAM, dan bukan merupakan HAM.

Selain itu, HAM dalam pandangan Islam statis, tidak berubah-ubah. Artinya, apa-apa yang diharamkan atau dihalalkan Syariat Islam akan tetap berlaku hingga Hari Akhir. Sesuatu yang telah ditetapkan sebagai HAM mau pun KAM oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW, maka dari dulu hingga kini, bahkan sampai masa yang akan datang, akan tetap menjadi HAM dan KAM.

Dengan demikian, keharaman khamar (miras) yang mencakup segala jenis minuman atau makanan yang memabukkan. Dari bahan apa pun dibuatnya, apakah dari kurma, anggur atau buah lainnya, termasuk dari bahan kimia sekali pun. Dan apa pun bentuknya, apakah cair, gas, asap, jeli, bubuk, pil, serta bentuk lainnya. Dan bagaimana pun cara mengkonsumsinya, apakah diminum, dimakan, dikunyah, dioleskan, disedot, atau pun disuntikkan. Dan apa pun namanya, apakah Alkohol, Arak, Bir, Rum, Vodka, Cognac, dan sebagainya. Dan berapa pun kadar penggunaannya, banyak atau pun sedikit. Serta kapan dan dimana pun minumnya, apakah di musim panas mau pun dingin, atau apakah di negeri Arab mau pun di negeri China atau di negeri lainnya. Maka sejak dulu hingga sekarang, bahkan sampai yang akan datang, khamar adalah haram, dan bukan merupakan HAM, serta sampai kapan pun tidak akan pernah menjadi HAM.
Jadi jelas, bahwa HAM dalam pandangan Islam memiliki kaidah dan batasan yang jelas, sehingga tidak akan pernah berbenturan dengan KAM.

Islam Vs Deklarasi HAM PBB

Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 217 A (III) tentang Deklarasi Universal HAM. Secara umum resolusi tersebut cukup baik, karena didorong oleh semangat penegakan keadilan bagi seluruh umat manusia. Namun karena dasar pemikiran resolusinya bersumber dari HAM Barat, maka sejumlah item yang diatur di dalamnya bertentangan dengan ajaran agama, khususnya agama Islam.

Pasal 16 resolusi tersebut adalah "Pasal Kawin Bebas", karena menjamin kebebasan bagi pria mau pun wanita yang sudah dewasa dengan hak yang sama untuk menikah tanpa batasan agama dan tanpa peran Wali Nikah. Padahal dalam pandangan umum Islam diharamkan "Kawin Beda Agama" dan "Kawin Tanpa Wali".

Dan Pasal 18 resolusi tersebut adalah "Pasal Murtad", karena menjamin kebebasan bagi setiap orang untuk berganti agama apa pun, termasuk yang murtad dari Islam. Padahal dalam Islam setiap muslim diharamkan untuk keluar dari Islam, bahkan diancam Hukuman Mati.

Pasal 21 resolusi tersebut adalah "Pasal Demokrasi" karena mewajibkan setiap negara untuk menerapkan "Demokrasi" dengan memberikan kedaulatan sepenuhnya kepada keinginan rakyat dan mewajibkan Pemilu di setiap negara. Padahal Islam bukan Demokrasi, dan Demokrasi bukan Islam.

Pada tanggal 16 Desember 1966, Majelis Umum PBB menetapkan Resolusi 2200 A (XXI). Dalam Resolusi ini ada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang menekankan kembali tentang "Pasal Kawin Bebas" dan "Pasal Murtad" serta "Pasal Demokrasi", yaitu pada Pasal 1, 2, 23 dan 25. Sedang Pasal 6 kovenan ini masih mengakui dan membolehkan pemberlakuan Hukuman Mati, namun kemudian dibatalkan melalui Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik untuk penghapusan Hukuman Mati yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB No. 44 / 128 tertanggal 15 Desember 1989. Padahal dalam Islam ada pemberlakuan Hukuman Mati dalam masalah Qishash mau pun Hudud, seperti hukuman mati bagi pembunuh dan zani muhson serta murtad.

Hak Anak Dan Wanita

Majelis Umum PBB mengeluarkan sejumlah resolusi tentang Anak dan Wanita atas dasar semangat untuk memberi perlindungan terhadap anak dan wanita. Tentu ini merupakan suatu upaya terpuji yang harus didukung semua pihak. Namun sayang, lagi-lagi dasar pemikiran resolusinya bersumber dari HAM Barat, sehingga sering bertentangan dengan ajaran agama, khususnya agama Islam.

Salah satu resolusi PBB terkait Anak adalah Konvensi Hak Anak yang ditetapkan Majelis Umum PBB melalui Resolusi No. 44 / 25 tertanggal 20 November 1989. Pasal 20 resolusi ini secara eksplisit mengakui eksitensi Kafalah dalam Hukum Islam. Dan Pasal 24 resolusi ini secara rinci menjamin perlindungan terhadap anak dari segala bentuk eksploitasi sex dan pornografi. Ini merupakan hal yang sangat bagus dari resolusi ini. Hanya saja, resolusi ini tidak memberi batasan jelas tentang definisi anak.

Pasal 1 resolusi ini menetapkan bahwa permulaan usia dewasa seseorang, baik pria mau pun wanita, adalah 18 tahun, kecuali apabila menurut hukum yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Dasar penetapan usia dewasa dalam pasal ini  tidak jelas, dan semakin bias dengan pengecualian yang juga tidak memiliki indikator kedewasaan yang pasti.

Dalam Islam dasar dan indikator kedewasaan sesorang sangat jelas dan pasti. Islam menetapkan bahwa kedewasaan bagi pria ditandai dengan salah satu dari dua perkara, yaitu "mimpi" yang menyebabkan junub pertama atau usia yang sudah genap 15 tahun qomariyyah. Sedang kedewasaan bagi wanita ditandai juga dengan salah satu dari dua perkara, yaitu "Haidh" yang pertama atau juga usia yang sudah genap 15 tahun qomariyyah. Penetapan ini sangat sederhana tapi jelas dan terang, sehingga mudah diidentifikasi oleh siapa pun.

Dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 34 / 180 tanggal 18 Desember 1979 tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan disebutkan antara lain : Pelarangan kawin dan hamil di bawah usia 18 tahun dan Pelarangan Khitan bagi anak perempuan. Padahal dalam Islam, soal usia perkawinan kembali kepada ketetapan Islam tentang usia dewasa sebagaimana tersebut di atas, sehingga siapa telah dewasa maka ia berhak untuk kawin dan hamil sesuai aturan Syariat Islam.

Ada pun soal Pelarangan Khitan Perempuan, PBB mengambil sampel "Khitan Fir'aun" yang marak di Benua Afrika, yaitu "Pemotongan Alat Kelamin Wanita", lalu menggeneralisir bahwa semua bentuk khitan dilarang. Padahal "Khitan Islam" berbeda dengan "Khitan Fir'aun". Dalam Khitan Islam cukup hanya menghilangkan selaput (jaldah / colum / praeputium) yang menutupi klitoris, bukan melukai atau memotong klitorisnya, apalagi memotong alat kelaminnya. Bahkan dalam Islam sudah dianggap cukup hanya dengan melakukan goresan pada kulit yang menutupi bagian depan klitoris (frenulum klitoris).

Selain itu, dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, ternyata juga ada soal perempuan dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Pasal 3 kovenan tersebut adalah "Pasal Kesetaraan Gender", karena menjamin persamaan hak dan kewajiban antara pria dan wanita dalam semua aspek kehidupan, termasuk waris. Selain itu, masih ada Deklarasi dan Program Aksi di Wina pada tanggal 25 Juni 1993 tentang Hak Anak dan Wanita yang secara rinci menetapkan soal "Kesetaraan Gender". Padahal Islam tidak mengenal "Kesetaraan Gender", tapi Islam memperkenalkan "Keserasian Gender". Ada pun Hukum Waris dalam Islam sudah final.

Awasi Dan KoreksiAM PBB

Dengan fakta dan data tersebut di atas tentang kontroversialnya berbagai Resolusi HAM PBB, maka umat Islam di seluruh dunia berkewajiban untuk selalu melakukan pengawasan dan pengkajian terhadap setiap Resolusi HAM PBB. Apalagi disana masih banyak sekali pasal-pasal dalam berbagai Resolusi HAM PBB yang mesti disorot, dikaji dan dikoreksi agar tidak dijadikan senjata untuk membombardir Syariat Islam.

Tanggung jawab negara-negara Islam, khususnya yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan menjadi anggota PBB, tentu lebih besar lagi. Mereka mesti secara pro aktif mengikuti semua agenda sidang PBB, dan harus menyoroti secara cermat semua draf rencana keputusan PBB yang berpotensi menabrak ajaran agama Islam, serta wajib menolak segala keputusan PBB yang dipaksakan dan bertentangan dengan Syariat Islam. Jangan sebaliknya, negara-negara Islam di PBB hanya menjadi "skrup" untuk menguatkan visi misi PBB yang "sangat Barat". Apalagi sampai ikut mengkampanyekan resolusi PBB yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Misalnya, pada tahun 2006 di Indonesia terbit Surat Edaran (SE) Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI No : HK. 00.07.1.31047 a tertanggal 20 April 2006 tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan, dengan alasan menyakitkan dan membahayakan serta merusak organ reproduksi perempuan, sekaligus memenuhi tuntutan WHO sebagai Badan Kesehatan Dunia di PBB. SE tersebut disebar-luaskan ke semua RS dan Puskesmas, sehingga hampir semua RS menolak permintaan Khitan Anak Perempuan. Akibatnya, selama SE tersebut berlaku banyak anak perempuan umat Islam di Indonesia yang tidak dikhitan.

Lalu umat Islam Indonesia protes keras, karena Khitan dalam Islam bagi pria mau pun wanita adalah bagian dari Fithrah, sehingga merupakan Syiar Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat pun pada tahun 2008 mengeluarkan Fatwa No. 9A tentang Khitan tertanggal 7 Mei 2008, sekaligus merekomendasikan kepada pemerintah agar menjadikan Fatwa tersebut sebagai acuan dalam masalah Khitan Perempuan.

Akhirnya, pada tahun 2010 terbit Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1636 / MENKES / PER / XI / 2010 tentang Sunat Perempuan yang mencabut SE Larangan Sunat Perempuan, sekaligus menerima rekomendasi MUI dengan menyetujui pelaksanaan Sunat Perempuan. Namun sayangnya Peraturan Menkes RI tersebut tidak tersosialisasikan dengan baik secara meluas, sehingga sampai saat ini masih ada sejumlah RS yang menolak Khitan Anak Perempuan.

Selain negara-negara Islam yang harus pro aktif mengawasi berbagai resolusi PBB, maka umat Islam pun harus pro aktif juga mengawasinya. Apalagi secara perorangan atau organisasi pun diperkenankan untuk menyampaikan laporan ke PBB, baik usul dan saran mau pun kritik dan protes. Untuk itu ada sejumlah alamat yang bisa digunakan sesuai dengan bidang laporannya. Khusus masalah HAM bisa dialamatkan ke : Centre for Human Rights - United Nations Office of Geneva, 1211 Geneva 10, Switzerland.

HAM Iindonasia


Fakta sejarah membuktikan bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang menolak segala bentuk penjajahan di atas muka Bumi, lebih dulu ada dari pada Piagam PBB yang lahir tanggal 24 Oktober 1945. Artinya, Indonesia lebih dulu memiliki Deklarasi Universal HAM ketimbang PBB.

Namun demikian, aturan HAM secara rinci di Indonesia baru lahir pasca Reformasi 1998 melalui Amandemen UUD 1945 yang melahirkan Pasal 28 dan Pasal 28 huruf a s/d j tentang HAM. Lalu dilanjutkan dengan lahirnya UU No. 33 Th. 1999 tentang HAM yang sekaligus menjadi dasar pendirian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang disingkat Komnas HAM.

Penegakan HAM di Indonesia patut diapresiasi dan wajib kita dukung. Namun sayang sejuta sayang, pendefinisian HAM dalam UUD dan UU HAM yang ada masih merujuk kepada definisi HAM Barat, sehingga pada prakteknya menjadi bertolak belakang dengan pilar-pilar bangsa dan negara Indonesia. Buktinya, Komnas HAM di Indonesia banyak melakukan tindakan yang bertentangan dengan Asas Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi inti Pancasila dan UUD 1945 sebagai dua pilar utama negara.

Pertama, Pembelaan Komnas HAM terhadap aliran sesat Ahmadiyah dan aliran-aliran sesat lainnya, yang secara terang-terangan telah menodai ajaran Islam. Padahal sesuai dengan UU Penodaan Agama yang tertuang dalam Penpres No.1 / 1965, UU No.5 Th.1969 dan KUHP Pasal 156a tentang larangan Penodaan Agama, mestinya semua aliran sesat yang telah menodai dan menistakan agama ditolak keras oleh Komnas HAM, bukan dijustifikasi dan dilegitimasi dengan pembelaan hingga tingkat internasional. Apalagi sesuai Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 2200 A (XXI) Pasal 18 ayat 3 yang memberikan hak kepada negara untuk melakukan pembatasan hukum yang diperlukan untuk melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan atau moral umum, atau hak asasi dan kebebasan orang lain. Ditambah lagi dengan putusan Sidang PBB di Jenewa - Swiss  pada tanggal 26 Maret 2009 bahwa penodaan agama adalah pelanggaran HAM.

Kedua, Pembelaan Komnas HAM secara terang-terangan terhadap LGBT. Itu terlihat dalam pembelaan Komnas HAM terhadap Irsyad Manji dan Lady Gaga yang merupakan icon LGBT Internasional. Bahkan Komnas HAM pernah terlibat langsung dalam rangkaian acara "Kontes Waria" di Hotel Bumi Wiyata Jl. Margonda Raya, Depok - Jawa Barat, pada tanggal 30 April 2010. Dan kini sudah kesekian kali Komnas HAM mengajukan atau merestui para Aktivis LGBT ikut Fit and Proper Tes di DPR RI untuk jadi anggota Komnas HAM. Padahal, LGBT itu bertentangan dengan ajaran agama Islam dan bertentangan juga dengan empat pilar utama negara dan bangsa Indonesia, yaitu : Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.

Ketiga, Pembelaan Komnas HAM secara terang-terangan terhadap gerakan Anti Perda Syariah dan aksi penolakan UU Pornografi, dengan dalih menolak diskriminasi dan perlindungan terhadap minoritas serta pelestarian budaya dan adat istiadat. Padahal, pemberlakuan Syariat Islam hanya kepada mayoritas muslim dan tidak dipaksakan kepada minoritas non muslim, sehingga tidak ada itu tindak diskriminatif yang merugikan kalangan non muslim. Bahkan manakala mayoritas diwajibkan tunduk dan patuh kepada Syariat Islam, justru minoritas akan terlindungi, karena Syariat Islam adalah Syariat Rahmat untuk semesta alam. Soal adat dan budaya, Islam selalu memberi ruang pelestarian dan pengembangannya selama tidak melanggar norma agama. Ada pun yang melanggar mesti diluruskan, seperti adat telanjang tanpa pakaian di depan umum, itu bukan budaya terpuji, tapi keterbelakangan. Nah, keterbelakangan itu harus dibina agar berperadaban, bukan dilestarikan agar tetap primitif.

Fakta dan Data di atas sudah cukup membuktikan bahwa paradigma Komnas HAM murni merupakan paradigma HAM Barat. Bahkan ada indikasi lain yang menunjukkan bahwa Komnas HAM memang sudah jadi Antek Barat, antara lain adalah tingginya tingkat pembelaan Komnas HAM terhadap "kasus-kasus kecil" yang dialami minoritas seperti kasus HKBP di Ciketing Bekasi dan Gereja Yasmin di Bogor, namun terhadap "kasus-kasus besar" seperti pembantaian ribuan umat Islam dan pembakaran ratusan Masjid di Ambon, Poso, Sambas dan Sampit, ternyata Komnas HAM tuli, bisu dan buta : "Shummun Bukmun 'Umyun".

Kesimpulan

Definisi HAM yang benar adalah definisi yang diberikan Islam, yaitu bahwa HAM adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak lahir sebagai karunia Allah SWT, sehingga hak tersebut tidak akan pernah bertentangan dengan Kewajiban Asasi Manusia (KAM) yang telah digariskan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Indonesia sebagai negara mayoritas berpenduduk muslim terbanyak dan terbesar di dunia yang memiliki empat pilar negara yang berjiwakan Piagam Jakarta dengan inti Ketuhanan Yang Maha Esa dan Syariat Islam, maka tidak ada pilihan lain dalam soal HAM, kecuali hanya boleh mendefinisikan HAM sesuai dengan definisi Islam.
Read »

Mengukir Kembali Sejarah Bima Masa Lampau

Sejarah Bima
SEJARAH BIMA DANA MBOJO 

         Bima termasuk Daerah Tingkat II Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Sebelum bergabung dengan NKRI, Bima telah melewati perjalanan sejarah panjang yang bermula dari masa sebelum Islam. Sayangnya, karena keterbatasan sumber, hingga kini masih sulit untuk mengungkapkan serta memaparkan sejarahnya. Dalam konteks sejarah nasional, peran dinamika politik Bima jarang diungkap. Hal ini mungkin disebabkan oleh porsi partisipasi pergolakan kekuasaan di sana yang lebih bersifat lokal dan hanya meliputi wilayah regional. Selain itu, penulisan sejarah tentang Bima lebih banyak dilatarbelakangi oleh nasionalisme berlebihan sehingga tulisan-tulisan sejarah lokal tentang peran Bima dalam dinamika politik nasional terkesan dipaksakan. Dari sini, penulis berusaha membuat tulisan dengan landasan historis lokal sekaligus memaparkan karakteristik masyarakat Bima. Dengan ini, selain bisa mengetahui dinamika kekuasaan di Bima, pembaca juga bisa menilai bagaimana kondisi masyarakat Bima abad ke-17-18 M.
     Masyarakat Bima adalah masyarakat dengan kontruksi yang heterogen. Masyarakat Bima terdiri atas komposisi ras yang cukup beragam. Kapan dan bagaimana Bima bisa memiliki komposisi masyarakat yang demikian akan penulis paparkan secara historis dalam tulisan yang mengangkat judul ”Dinamika Sosial dan Politik Kesultanan Bima Abad ke-17 – 18 M” ini. Dalam tulisan ini juga akan diterangkan mengenai Bima pada masa kesultanan, atau menurut Bpk. Ari Sapto, M.Hum (Dosen Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang) lebih tepat disebut Kerajaan Islam Bima, yang dalam sejarahnya banyak berperan dalam berbagai pergolakan di Nusantara bagian timur terutama pada masa awal pemerintahan Kerajaan Islam Bima sekitar abad ke-17 M. 

       Ramainya jalur perdagangan dan pelayaran Nusantara pada masa awal kerajaan Islam tidak hanya diikuti oleh inkulturasi dan transfer budaya, tetapi juga memancing kepentingan politis VOC dalam hegemoni kekuasaan serta monopoli perdagangan di wilayah Bima. Dalam perkembangannya, ketika pemerintah Hindia Belanda mengambil alih wilayah kekuasaan VOC, Bima sebagai salah satu kerajaan di Pulau Sumbawa tidak luput dari penetrasi kekuasaan Belanda. Dari awal abad ke-17 sampai awal abad ke-19, Belanda sebagai kongsi dagang (VOC) maupun sebagai pemerintahan kerajaan terus melakukan usaha hegemoni kekuasaan di wilayah ini. Contoh usaha yang dilakukan, di antaranya politik adu domba serta membuat berbagai perjanjian yang pada akhirnya berhasil menguasai lingkungan istana secara utuh. Perjanjian-perjanjian tersebut berujung pada perjanjian yang dikenal dengan ”Conract Met Bima”. Perjanjian ini menunjukkan bahwa Kerajaan Bima benar-benar berada dalam wilayah hegemoni Hindia Belanda.

A. Bima pada Masa Awal Kesultanan

Sebelum memaparkan tentang masuk dan berkembangnya Islam di Bima, penulis akan membahas secara umum kondisi Bima sebelum era kesultanan. Tidak banyak sumber yang menggambarkan kondisi masyarakat Bima pada masa itu, akan tetapi beberapa tulisan lama tentang Kerajaan Bima menggambarkan masyarakat Bima sudah banyak yang menganut Islam bahkan sebelum Islam memasuki kancah politik dan pemerintahan. Bima sebelum masa kesultanan digambarkan sebagai daerah yang penduduknya beragama Hindu. Hal ini bisa dilihat dari temuan situs Wadu Pa’ayang terletak di Desa Sowa, Kecamatan Donggo, pesisir barat ujung utara Teluk Bima.

      Ada beberapa pendapat mengenai proses masuknya Islam di Bima. Dalam buku Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara karangan M. Hilir Ismail , Islam tersebar di wilayah Lombok dan Sumbawa salah satunya dibawa oleh Sunan Prapen yang merupakan putra Sunan Giri pada 1540 – 1550 M. Arus islamisasi yang besar juga berasal dari para pedagang Sulawesi sekitar 1617 M, seperti yang disebutkan dalam BO (catatan lama Istana Bima). Kesultanan Bima dalam kancah politik Nusantara, pada abad ke-17, banyak mengalami berbagai pergolakan, baik di dalam tubuh Bima sendiri maupun di wilayah timur Nusantara. Hubungan bilateral Kesultanan Bima dengan Kerajaan Gowa terjalin dengan baik, selain karena persamaan ideologi kerajaan (Islam), juga karena adanya hubungan darah di antara pemegang kekuasaan kedua kerajaan.

    Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Islam masuk ke wilayah pemerintahan Kesultanan Bima tidak terlepas dari pengaruh kerajaan-kerajaan di Makassar, khususnya Kerajaan Gowa. Di samping itu, perkawinan sultan pertama Bima, Sultan Abdul Kahir, yang disebut-sebut sebagai bentuk perkawinan politik yang merupakan intrik politik yang cukup populer pada abad itu, ikut memperkuat hubungan bilateral kedua kerajaan.

B. VOC dan Pemerintah Hindia Belanda dalam Dinamika Politik Kerajaan Islam Bima

Kontak pertama antara Bima dan orang-orang Belanda telah dimulai pada awal abad 17, ketika terjadi perjanjian lisan antara Raja Bima, Salasi, dan orang Belanda bernama Steven van Hegen pada 1605. Dalam sumber lokal, perjanjian ini disebut Sumpa Ncake. Isi perjanjian tersebut sampai sekarang belum diketahui. Namun, pada masa-masa berikutnya, hubungan dagang antara Bima dan VOC tampak terjalin dan berpusat di Batavia. Dalam catatan harian VOC atau Dah-register disebutkan bahwa VOC mengirim kapal-kapalnya ke Bima untuk membeli beras dan komoditas lainnya. Secara politis, hubungan Bima dan VOC mulai berlangsung dengan ditandatanganinya perjanjian pada 8 Desember 1669 dengan Admiral Speelman. 

      Perjanjian itu merupakan kontrak pertama dengan VOC sebagai akibat keikutsertaan Sultan Bima, Abdul Khair Sirajudin, membantu Kerajaan Gowa memerangi Belanda. Karena kalah perang, Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian dengan Belanda pada 1667, yang dikenal sebagai ”Perjanjian Bongaya”. Isi perjanjian itu antara lain memisahkan Kerajaan Bima dengan Kerajaan Gowa agar tidak saling berhubungan dan saling membantu. Pada perjanjian tahun 1669, Bima memberikan terobosan pada Kompeni untuk berdagang di Bima dan raja atau sultan tidak boleh meminta atau menarik cukai pelabuhan terhadap kapal dan barang-barang Kompeni yang keluar masuk pelabuhan.
Setiap terjadinya pergantian raja atau sultan, Kompeni akan membuat kontrak baru. Alasannya, selain untuk memperkuat kontrak-kontrak sebelumnya, juga untuk menjadikan Bima dan kerajaan-kerajaan lain di Pulau Sumbawa di bawah kekuasaan Kompeni secara perlahan-lahan. Selain itu, pertikaian di antara elit penguasa di Pulau Sumbawa, baik yang sengaja direkayasa oleh Kompeni atau bukan, pada dasarnya memberikan kesempatan bagi VOC untuk memperluas pengaruh serta kekuasaannya di wilayah itu. 

   Untuk mewujudkan keinginannya, VOC mengadakan pendekatan melalui pembuatan kontrak atau perjanjian secara paksa. Sebagai contoh, pada 9 Februari 1765, VOC mengadakan perjanjian secara kolektif dengan kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa, yaitu Bima, Dompu, Tambora, Sanggar, Pekat, dan Sumbawa. Cornelis Sinkelaar (Gubernur VOC) sepakat dengan Abdul Kadim (Raja Bima), Datu Jerewe (Raja Sumbawa), Ahmad Alaudin Juhain (Raja Dompu), Abdul Said (Raja Tambora), Muhamad Ja Hoatang (Raja Sanggar), dan Abdul Rachman (Raja Pekat) untuk bersama-sama dengan VOC memelihara ketenteraman, bersahabat baik, dan mengadakan persekutuan dengan VOC. Dalam pasal 1 kontrak tersebut dinyatakan bahwa raja-raja di Pulau Sumbawa, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, berjanji akan terus mematuhi kontrak yang pernah dibuat sebelumnya. Demikian pula prosedur-prosedur dalam perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan VOC, masih berlaku dan akan terus dipatuhi. Pada 1675, VOC diizinkan untuk mendirikan posnya di Bima. Perjanjian itu diperbarui lagi pada 1701 dan sejak itu secara resmi VOC hadir di Bima.

Pada awalnya, ditempatkan seseorang dengan jabatan koopman atau onderkopman, kemudian seorang residen, dan akhirnya seorang komandan. Pada 1708, J. Happon ditunjuk sebagai residen yang pertama. Pada 1771, jabatan residen digantikan oleh jabatan komandan sampai 1801. Dalam kontrak disebutkan pula bahwa perjanjian itu dibuat dalam rangka persahabatan dan persekutuan abadi yang didasarkan pada ketulusan, kepercayaan, dan kejujuran. Sebagai konsekuensi dari kontrak-kontrak itu, kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa tidak boleh (dilarang) mengadakan hubungan (politik maupun dagang) dengan daerah-daerah lain, dengan bangsa Eropa lain, atau dengan seseorang kecuali atas persetujuan dan izin VOC. Meski demikian, penempatan residen Belanda di Bima pun harus dengan persetujuan Kerajaan Bima dan sepengetahuan Gubernur dan Dewan Hindia di Makassar. Akibat lain dari perjanjian ini adalah semua hubungan dengan orang-orang Makassar di daerah ini harus diputuskan. Bagi VOC, orang-orang Makassar merupakan para pengacau dan penyulut kekacauan karena hubungan Sumbawa dan Makassar yang telah berjalan lama. Pada 1695, orang-orang Makassar melakukan pelarian dalam jumlah besar ke daerah Manggarai. Bahkan, perpindahan orang-orang Makassar itu telah berlangsung sejak 1669, setelah Kerajaan Gowa ditaklukkan VOC dan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada 1667. Pada 1701, orang-orang Makassar berhasil diusir dari Manggarai. 

     Namun, ternyata hubungan antara Bima dengan Makassar tidak dapat diputus dengan cara-cara kekerasan seperti itu karena hubungan Bima-Makassar tidak semata-mata bersifat politik dan ekonomi (dagang), tapi juga hubungan perkawinan antara elit penguasa Bima dan putri bangsawan Gowa.

     Pada 1759, sebagai dampak dari kontrak yang dilakukan raja-raja di Pulau Sumbawa, orang-orang Makassar menyerang Manggarai dan menduduki daerah itu. Namun, mereka tidak dapat bertahan lama karena pada 1762, dengan bantuan VOC, Bima dapat menguasai kembali daerah Manggarai. Usaha yang dilakukan oleh Gowa untuk menguasai Manggarai tetap dilakukan, misalnya pada 1822 dengan jalan menarik pajak, namun belum berhasil. Dengan berbagai perjanjian yang terus diperbarui dari zaman VOC hingga ke Hindia Belanda, perlahan-lahan Kesultanan Bima secara politis kehilangan kekuasaan. Perjanjian yang merupakan titik puncak hegemoni Belanda atas Kesultanan Bima adalah perjanjian yang dilakukan oleh Sultan Ibrahim pada 6 Februari 1908 yang disebut “Contract Met Bima”. Perjanjian tersebut antara lain berisi:
  1. Sultan Bima mengakui Kerajaan Bima merupakan bagian dari Hindia Belanda dan bendera Belanda harus dikibarkan.
  2. Sultan Bima berjanji senantiasa tidak melakukan kerja sama dengan bangsa kulit putih lain.
  3. Apabila Gubernur Jenderal Hindia Belanda menghadapi perang, maka Sultan Bima harus mau mengirim bala bantuan.
  4. Sultan Bima tidak akan menyerahkan wilayah Kesultanan Bima kepada bangsa lain kecuali Belanda.
Walau pada perkembangannya perjanjian ini menyulut perlawanan dari rakyat Bima, tetap saja Kesultanan Bima pada masa itu berada dalam posisi yang lemah. Hal itu bisa dilihat dari perlawanan rakyat yang dapat dipatahkan oleh Belanda secara bertahap dan Sultan Ibrahim tidak punya kekuatan yang cukup untuk melakukan perlawanan secara terang-terangan.
note: diketik ulang dari kumpulan artikel yang ada di asrama mahasiswa malang-mbojo dan jika ada diantara pembaca merupakan orang yang telah lama atau pakar sejarah dari bima mbojo kami mohon agar memberikan masukan dan koreksi untuk kami
Read »

Tradisi Ekstrim Adu Kepala (Adat Wawo)

Ntubu, cAdat Bima Wawo
 Ntubu, Tradisi Ekstrim Yang Masih Bertahan

   Salah satu atraksi seni budaya tradisional Bima yang cukup unik adalah Adu Kepala atau dalam Bahasa Bima disebut Ntumbu. Belum ada pihak yang mengetahui secara pasti kapan atraksi kesenian seperti ini mulai ada di Bima. Karena Atraksi Ntumbu ini hanya ditemkukan di desa Ntori dan Desa Maria kecamatan Wawo.

Namun beberapa sejarahwan dan budayawan berpendapat bahwa atraksi ini telah ada pada zaman kesultanan Bima pada abat ke 17. Hampir 90 porsen atraksi kesenian tradisional Bima didominasi oleh atraksi ketangkasan yang menggambarkan semangat patriotisme dan kepahawanan. Hal itu dibuktikan dengan penggunaan alat-alat ktangkasan dan perlengkapan perang seperti parang, tombak, keris dan lain-lain dalam setiap atraksi.

Di Desa Ntori kecamatan Wawo Bima, Ntumbu diwariskan turun temurun oleh satu keluarga atau keturunan. Dan jarang bisa dimainkan oleh orang lain di luar lingkungan keluarga itu. Sebelum bertanding (Beradu Kepala), salah seorang yang tertua di antara mereka memberikan air doa dan mantera-mantera kepada seluruh anggota pemain. Mantera itu adalah ilmu kebal sehingga ketika mereka melakukan adu kepala tidak merasakan sakit dan tidak benjol atau berdarah akibat benuran kepala itu. Atraksi Adu Kepala diiringi oleh alunan musik tradisonal Bima yaitu Dua Buah Gendang, Satu serunai, Gong, dan Tawa-tawa. Ketika musik dimainkan, beberapa orang berlaga di depan seperti gaya pencak silat lalu saling menyerang dengan kepala.

Sejarahwan M. Hilir Ismail mengemukakan bahwa Atraksi Adu Kepala ini sempat juga dilarang karena ada pandangan bahwa atraksi ini bertentangan dengan ajaran Islam. Kenapa demikian ? karena kepala adalah simbol kehormatan seseorang jadi alangkah hinanya jika diadu. Namun ada juga kalangan yang berpendapat bahwa hal itu adalah bagian dari tradisi untuk menggugah semangat patriotisme membela Kerajaan.
Read »

Oi Kananga, Di Desa Kombo

 Oi Kananga, Di Desa Kombo
 Oi Kananga, Di Desa Kombo

  Oi Kananga ini letaknya disebuah gunung yang berdekatan dengan sebuah sungai kecil yang berhubungan langsung dengan laut Sape, suatu pemandangan indah dimana terhampar rumput yang indah dan beberapa pohon kenanga disekitarnya.

Oi Kananga kalau ditrjemahkan kedalam bahasa indonesia adalah (Oi = Air) sedangkan (Kananga = Pohon kananga). Artinya, mata air itu muncul di sela akar-akar pohon kananga. Kalau kita meminumnya, maka kita akan merasakan tiga rasa yang paling khas, yaitu :
1. Hilang dari dahaga
2. Rasa harum yang menyegarkan
3. Rasa enak mana lagi (mau minum terus) yang oleh masyarakat kombo diistilahkan dengan "oi macaru manta".

Menurut sejarah, Oi kananga ini digali oleh petinggi kerajaan Bima yang sakti mandraguna, namanya Turelinggampo. Petinggi kerajaan ini konon tugasnya untuk melihat tanah-tanah tandus di kabupaten Bima kemudian digalikan sebuah telaga untuk dijadikan sebuah tempat minum bagi para penduduk yang ada di desa itu.

Menurut sejarahwan Bima, bahwa turelinggampo melakukan penggalian telaga tersebut dengan memakai jari telunjuk yang ditancapkan di tanah sambil mengucapkan kalimat لاإله إلاالله maka tanah tandus itu dengan sendirinya berlubang dan lama kelamaan menjadi sebuah telaga yang mengeluarkan mata air yang jernih. Selang beberapa bulan setelah telaga itu digali, turunlah 7 putri langit yang hendak mandi di telaga itu. Yang anehnya, kalau mereka hendak mandi di telaga itu, mereka melakukannya pada waktu 1/3 malam atau sekitar pukul 03.20. Efeknya, air telaga itu semakin besar dan meluap. Dari hari kehari air telaga itu tidak pernah kering walaupun musim kemarau melanda.

Oleh karena para penduduk desa tidak mempunyai tempat MCK (mandi, cuci, kakus) di sekitar rumah mereka. Mereka hanya mengandalkan sungai kecil itu sebagai MCK mereka. Pada suatu hari, ada seorang nenek yang pergi hendak membuang hajat tengah malam, setelah ia sampai ke sungai itu, ia mendengar suara air, seperti suara air mandi orang. Dan ia melihat ada beberapa orang yang mandi tepatnya di telaga Oi Kananga yang dimaksud. Diapun tidak melihatnya secara pasti apakah laki-laki atau perempuan, karena penglihatannya sudah tidak normal lagi. Alhasil nenek itu tidak jadi membuang hajatnya karena ketakutan. Kemudian dicertakanlah oleh nenek itu kepada para penduduk bahwa ada kejadian aneh yang terjadi pada malam itu di telaga Oi Kananga. Para pendudukpun berbondong-bondong turun dari rumahnya ke telaga Oi Kananga untuk melihat kejadian aneh tersebut. Namun apa yang mereka hajatkan tidak didapatkannya.

Akan tetapi ada seorang pemuda yang tidak sengaja pergi ke tempat itu dan mencari barang berharga milik ibunya yang kelupaan pada saat mandi. Persis seperti kejadian yang dialami oleh sang nenek, iapun melihat secara pasti cahaya yang menyinari telaga itu ternyata ada 7 putri langit yang turun hendak mandi di telaga oi kananga. Mereka bersorak sorai dan saling menyemburkan air antara sesamanya. Mata pemuda terbelalak melihat kejadian ini. sekaligus kagum dengan kecantikan, kemolekan dan keanggunan paras tujuh putri langit.
Apabila anda berkunjung ke Kecamatan Wawo,Khususnya di Desa Kombo, salah satu desa yang berada diujung timur kecamatan Wawo ada sebuah daya tarik tersendiri yang pantas direkomendasikan menjadi tempat untuk sejenak melepaskan beban rutinitas, Oi Kananga.
Read »

23 Nomine Peraih FIFA Ballon d'Or 2013:

    Proses pemilihan FIFA Ballon d'Or 2013 akan dilakukan oleh kapten dan pelatih tim nasional anggota FIFA serta media-media yang dipilih France Football. Pengumuman peraih FIFA Ballon d'Or 2013 akan dilakukan di Zurich Kongresshaus, Zurich, Swiss, 13 Januari 2014.

Berikut 23 nomine peraih FIFA Ballon d'Or 2013:

Gareth Bale (Wales), Edinson Cavani (Uruguay), Radamel Falcao (Kolombia), Eden Hazard (Belgia), Zlatan Ibrahimovic (Swedia), Andres Iniesta (Spanyol), Philipp Lahm (Jerman), Robert Lewandowski (Polandia), Lionel Messi (Argentina), Thomas Mueller (Jerman), Manuel Neuer (Jerman), Neymar (Brasil), Mesut Oezil (Jerman), Andrea Pirlo (Italia), Franck Ribery (Perancis), Arjen Robben (Belanda), Cristiano Ronaldo (Portugal), Bastian Schweinsteiger (Jerman), Luis Suarez (Uruguay), Thiago Silva (Brasil), Yaya Toure (Pantai Gading), Robin van Persie (Belanda), dan Xavi Hernandez (Spanyol).
FIFA dan France Football merilis 23 nama nomine peraih FIFA Ballon d'Or 2013. Lionel Messi (Argentina) dan Cristiano Ronaldo (Portugal) kembali masuk nominasi FIFA Ballon d'Or 2013.
Read »

Sihir Ozil Kejutkan Arsenal

Sihir Ozil Kejutkan Arsenal


LONDON – Gelandang Arsenal, Santi Cazorla, mengakui bahwa dirinya dan semua pemain The Gunners sangat terkejut dengan dampak langsung yang dibawa oleh pemain anyar pembelian klubnya musim panas lalu, Mesut Ozil.

Ozil sukses diboyong dari Real Madrid ke Emirates Stadium jelang penutupan bursa transfer dengan banderol 50 juta euro yang memecahkan rekor pembelian termahal sepanjang sejarah klub. Akan tetapi Cazorla menilai, harga yang dibayarkan oleh klubnya itu sangat pantas jika melihat kualitas yang diperlihatkan oleh Ozil sejauh ini.

“Dia (Ozil) memberikan sesuatu yang berbeda bagi tim ini. Dirinya memiliki bakat yang sangat besar, apa yang dilakukannya di lapangan seperti sihir. Dia mampu mengubah jalannya pertandingan, dirinya juga tidak pernah berlama-lama memegang bola dan hanya perlu memberikan sedikit sentuhan untuk bisa mencetak gol,” ujar Cazorla, seperti dilansir Goal, Selasa (19/11/2013).

“Kami sangat kaget ketika mengetahui dirinya memutuskan bergabung bersama kami. Kami tidak menyangka dirinya akan meninggalkan Madrid. Dia seperti hadiah bagi kami,” sambungnya.

Cazorla juga menilai bahwa timnya telah jauh berkembang musim ini. Menurut Cazorla komposisi yang dimiliki oleh timnya sudah sangat berkualitas, jika melihat hasil yang diraih Meriam London saat ini sebagai pimpinan klasemen sementara Premier League.

Meskipun kedatangan Ozil ke tim asuhan Arsene Wenger itu berujung pada perubahan posisi Cazorla, dirinya mengaku tidak kecewa dan tetap yakin dengan peranannya di tim. Pemain internasional Spanyol itu juga merasa tertantang dengan ketatnya persaingan untuk bisa menjadi juara di Premier League dan memuji penampilan gemilang Liverpool sejauh ini sebagai penantang serius timnya untuk meraih trofi juara.

“Saya pikir kami sudah matang musim ini. Bahagia rasanya melihat tim ini berada di puncak klasemen sementara, hasil ini memberikan kami kepercayaan diri yang tinggi untuk bisa meraih kesuksesan lebih jauh lagi. Tahun lalu kami tampil kurang konsisten dan sering melakukan beberapa kesalahan yang berakibat fatal. Musim ini kami harus tampil lebih baik,” tambah Cazorla.

“Sepakbola di Inggris tidak terlalu taktis, akan tetapi jauh lebih terbuka. Meskipun kedatangan Ozil membuat saya seharusnya menjadi bermain di sisi kiri, akan tetapi pelatih telah memberi saya peran yang lebih bebas untuk bisa bermain lebih ke tengah,” lanjutnya.

“Persaingan di Premier League sangat terbuka, yang mana setiap tim mampu membuat kejutan bagi tim-tim besar lainnya. Saya pikir Liverpool dapat menjadi pesaing serius dalam memperebutkan titel juara di akhir musim, mereka tampil sangat kompak dan memiliki keuntungan hanya bermain di satu kompetisi saja,” tutup Cazorla.
Read »

Definisi Pendidikan Menurut Para Ahli

Pengertian dan Definisi Pendidikan - Pengertian dan Definisi Pendidikan berdasarkan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat dan bangsa.

Pengertian dan Definisi Pendidikan Menurut Para Ahli

Elisa dkk (2001) menyatakan bahwa pendidikan luas dikenal di masyarakat adalah pendidikan dalam arti formal, yaitu pendidikan yang diterima oleh peserta didik melalui pendidik dan biasanya dilakukan pada suatu lembaga atau institusi.

Dengan kata lain, esensi pendidikan (usaha sadar) mengandung makna suatu proses transaksional yang intensional, terjadi dilingkungan (sosial budaya) berstruktur yang disebut sekolah atau sejenisnya.

Pendidikan sebagai salah satu bagian penting dari proses pembangunan nasional merupakan salah satu sumber penentu dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. (Soekidjo Notoatmodjo. 2003 : 16)

Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tatalaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik. (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002 : 263)

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1)

John Stuart Mill (filosof Inggris, 1806-1873 M) menjabarkan bahwa Pendidikan itu meliputi segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang untuk dirinya atau yang dikerjakan oleh orang lain untuk dia, dengan tujuan mendekatkan dia kepada tingkat kesempurnaan.

Pendidikan, menurut H. Horne, adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada vtuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia.

John Dewey, mengemukakan bahwa pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk untuk menghasilkan kesinambungan social. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan dari orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup.

Hal senada juga dikemukakan oleh Edgar Dalle bahwa Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat mempermainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tetap untuk masa yang akan datang.

Thompson mengungkapkan bahwa Pendidikan adalah pengaruh lingkungan terhadap individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap dalam kebiasaan perilaku, pikiran dan sifatnya.

Ditegaskan oleh M.J. Longeveled bahwa Pendidikan merupakan usaha , pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak agar tertuju kepada kedewasaannya, atau lebih tepatnya membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri.

Prof. Richey dalam bukunya ‘Planning for teaching, an Introduction to Education’ menjelaskan Istilah ‘Pendidikan’ berkenaan dengan fungsi yang luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu masyarakat terutama membawa warga masyarakat yang baru (generasi baru) bagi penuaian kewajiban dan tanggung jawabnya di dalam masyarakat.

Ibnu Muqaffa (salah seorang tokoh bangsa Arab yang hidup tahun 106 H- 143 H, pengarang Kitab Kalilah dan Daminah) mengatakan bahwa : “Pendidikan itu ialah yang kita butuhkan untuk mendapatkan sesuatu yang akan menguatkan semua indera kita seperti makanan dan minuman, dengan yang lebih kita butuhkan untuk mencapai peradaban yang tinggi yang merupakan santaan akal dan rohani.”

Plato (filosof Yunani yang hidup dari tahun 429 SM-346 M) menjelaskan bahwa Pendidikan itu ialah membantu perkembangan masing-masing dari jasmani dan akal dengan sesuatu yang memungkinkan tercapainya kesemurnaan.

Sumber: InfoPendidikan.com
Read »

Copyright © Kreasi Anak Reggae

Designed by