A.
Pendahuluan
Menyingkapi topik di atas, sangat
menarik untuk dibahas karena fenomena sosial yang menyangkut konflik sosial (social conflict) yang telah terjadi di beberapa daerah di Indonesia
(di Ambon, Irian, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Poso-Sulawesi Tengah,
Kabupaten Mamasa, dan lain-lain), dengan berbagai karakter maupun faktor-faktor
pencetusnya pada umumnya berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain,
dan secara realitasnya sangat sulit diatasi dan dicari cara pemecahan yang
konprehensif baik oleh masyarakat setempat melalui tokoh-tokoh masyarakat yang
biasanya dapat diselesaikan melalui pendekatan adat-istiadat lokal, bahkan oleh negara melalui
lembaga-lembaganya.
Sebenarnya bila dilihat secara
seksama dari topik, ada dua komponen yang menjadi tolok pikir untuk dijadikan
sebagai dasar melakukan kajian, yaitu “konflik
sosial” sebagai suatu fenomena masyarakat,
kemudian konflik sosial yang telah terjadi disoroti dari “aspek penegakan hukum”, karena antara
hukum dengan konflik terdapat hubungan yang erat.
Dengan demikian timbul permasalahan atau pertanyaan
bagi kita berkaitan dengan konflik sosial dam penegakan hukum yaitu: (1)
Bagaimanakah penegakan hukum baik dalam arti pre-emtif, preventif dan represif telah dilaksanakan oleh negara
melalui komponen-komponen penegakan hukum, baik yang terikat dalam supra
struktur sering kita sebut sebagai Sistem Penegakan Hukum Terpadu (Integrated Criminal Justice Systeem/ICJS)
maupun infra struktur seperti advokat dan pengacara dilaksanakan selama ini,
atau bagaimana realita penegakan hukum yang diselesaikan selama ini dalam
mengatasi konflik yang telah terjadi? (2) Mengapa sistem hukum tidak dapat
berjalan secara efektif untuk mengatasi berbagai konflik sosial yang telah
terjadi selama ini? (3) Benarkah telah terdapat komitmen penegak hukum guna
mewujudkan supremasi Hukum dalam mengatasi berbagai permasalahan (konflik
sosial) yang sedang dihadapi oleh bangsa ini?
B.
Berbagai Konsepsi Tentang Konflik Sosial
Webster mengatakan dalam bukunya Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin
istilah “conflict” didalam
bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan, atau perjuangan”, yaitu
berupa konfrontasi fisik antara beberapa
pihak.
Kemudian istilah “conflict” ini menjadi meluas dan
tidak hanya terbatas pada konfrontasi fisik tetapi menyangkut aspek psikologis,
dan konflik hampir ditemukan dalam segala aspek interaksi kehidupan umat
manusia.
Lebih lanjut Webster memberikan batasan yang lebih luas yaitu bahwa
konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest),
atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat
dicapai secara simultan.
Kepentingan disini adalah perasaan orang mengenai apa yang sesungguhnya
ia inginkan, dan ini menjadi sentral pemikiran yang melandasi tindakan
seseorang, yang membentuk inti dari banyak sikap, tujuan, dan niatnya.
Kepentingan dimaksud ada dua sifat:
1.
Bersifat universal.
Kepentingan yang bersifat universal dimaksud antara lain kebutuhan, rasa aman, kebahagiaan,
kesejahteraan
2.
bersifat spesifik.
-
Keinginan yang bersifat spesifik seperti bangsa Palestina ingin untuk
memiliki tanah airnya.
-
Perebutan lahan di Poso
Sebelum kepentingan satu pihak dapat bertentangan dengan kepentingan
pihak lain, kepentingan-kepentingan tersebut harus diterjemahkan ke dalam suatu aspirasi, yang didalamnya terkandung
berbagai “tujuan” dan “standar”. Tujuan adalah akhir dari suatu perjuangan,
sedangkan standard adalah tingkat pencapaian minimal yang lebih rendah,
sehingga orang menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak memadai.
Uger didalam bukunya Soerjono
Soekanto, tidak memberikan pengertian konflik, tetapi membagi konflik atas tiga
bagian, yaitu:
1.
Konflik antara kepentingan pribadi
dengan kepentingan sosial.
2.
konflik antara kebebasan dengan
paksaan.
3.
konflik antara negara dengan
masyarakat.
Lebih lanjut Uger menempatkan studi hukum di dalam
kerangka permasalahan umum dalam teori sosial seperti pada angka 1 s.d. 3.
Menurut Rony Hanityo
Memberikan pemahaman mengenai konflik, yaitu merupakan
gejala yang melekat pada setiap masyarakat, sedangkan setiap masyarakat selalu
berada dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir. Perubahan sosial yang
demikian terutama timbul karena adanya unsur-unsur yang saling bertentangan di
dalam setiap masyarakat.
Sebenarnya konflik tidak selamanya selalu membawa dampak negatif, namun
juga membawa dampak yang positif dalam interaksi kehidupan sosial, oleh karena
itu Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin memberikan pendapat dalam bahasa yang
lebih konkrit berupa “beberapa kabar baik dan buruk tentang konflik”.
Adapun yang dianggap baik adalah:
1.
konflik adalah persemaian yag subur bagi terjadinya
perubahan sosial. Orang yang menganggap situasi yang dihadapinya tidak adil
atau menganggap bahwa kebijakan yang berlaku saat ini tolol yang biasanya
mengalami pertentangan dengan aturan yang berlaku sebelumnya.
2.
fungsi positip kedua dari konflik sosial
adalah bahwa konflik tersebut memfasilitasi tercapainya rekonsiliasi atas
berbagai kepentingan. Kebanyakan konflik tidak berakhir dengan kemenangan
pada salah satu pihak dan kekalahan di
pihak lainnya. Sebaliknya beberapa tesis dari posisi kedua belah pihak yang
bertikai, beberapa diantaranya berupa
kesepakatan yang bersifat integrated
yang menguntungkan kedua belah pihak dan memberikan manfaat kolektif yang
lebih besar bagi para anggotanya sering kali terjadi.
3.
konflik dapat mempererat persatuan kelompok, tanpa adanya
kapasitas perubahan sosial atau rekonsiliasi atas kepentingan individual yang
berbeda, solidaritas kelompok tampaknya akan merosot dengan membawa serta
efektivitas kelompok dan kenikmatan pengalaman kelompok.
Demikian juga yang dianggap kurang baik
Misalnya
motivasi di dalam konflik yang mengalami eskalasi beranjak dari kepentingan
awal salah satu pihak untuk mendapatkan yang terbaik, yang kemudian berkembang
ke arah penyerangan terhadap pihak lain dan pada akhirnya kearah memastikan
diri bahwa pihak lain lebih menderita daripada dirinya. Kemudian jumlah pihak
yang berkonflik cenderung meningkat karena antara saya dan anda, kemudian
antara keluarga dan kita, lalu cepat atau lambat akan melibatkan seluruh
keluarga besar. Sekali konflik mulai mengalami eskalasi, maka transformasi yang
menyertainya akan sulit untuk di de-eskalasi.
Dengan demikian dalam konflik yang buruk atau kurang baik dapat
mengakibatkan suatu akibat yang mengerikan karena dapat menimbulkan kerusakan pada orang-orang yang terperangkap
di dalamnya.
Beranjak dari beberapa teori atau pandangan dari beberapa sosiolog
sebagaimana penulis sebutkan sebelumnya, pendekatan pemahaman terhadap konflik
selalu didasarkan pada pertentangan kepentingan diantara anggota-anggota
masyarakat, semakain besar tingkat perbedaan antara satu kelompok dengan
kelompok lain, maka kecenderungan timbulkan konflik akan semakin besar,
demikian sebaliknya, termasuk dalam hal ini digolongkan konflik yang bersifat
horisontal (masyarakat dengan masyarakat) maupun vertikal (masyarakat dengan
pemerintah), demikian juga campuran antara konflik horisontal dengan vertikal.
C.
Hukum Dan Masyarakat
Ungkapan dalam sosiologi hukum yang
lazim kita kenal berupa “Ubi Societas
Ibi Ius”, artinya dimana ada masyarakat disitu pasti ada hukum, yang
gunanya adalah untuk menjamin pulihnya keadaan sesegera mungkin setiap kali
setelah terjadinya pelanggaran (pelanggaran hukum apa saja) terhadap hukum yang menimbulkan
keresahan di masyarakat. Dengan demikian hukum merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari masyarakat, karena hukum itu diciptakan dan tumbuh berkembang
dalam masyarakat untuk mengatur tata pergaulan hidup agar tercipta ketertiban
dan harmonis sesuai dengan tatanan
kehidupan yang berlaku dalam masyarakat.
Dalam suatu negara yang mengutamakan
perinsip-prinsip hukum seperti asas rule of law, dirasakan bahwa segala
sesuatu yang dilakukan dalam masyarakat haruslah sesuai dengan aturan main,
agar masyarakat mengerti apa yang menjadi hak dan kewajibannya (tidak terjadi
pelanggaran terhadap hak masyarakat individu) dengan kata lain bahwa dalam hal
ini hukum merupakan kontrol sosial yang dilakukan oleh pemerintah. Kontrol
sosial merupakan kehidupan normatif dari suatu negara beserta warganya.
Sehingga diharapkan hukum sebagai sarana dapat
melakukan perubahan secara tertib (tanpa gejolak) dan bertahap atas
perilaku manusia.
Demikian juga orang mentaati hukum
semata-mata karena hukum itu adalah peraturan yang memang seharusnya ditaati,
sedangkan dalam orientasi pelaksanaan orang taat karena yang dilihat atau
diperhatikan adalah pejabat yang menjalankan hukum. Oleh karena itu, apabila
norma hukum yang berlaku dalam masyarakat mulai kehilangan cengkeramannya, maka
diperlukan peranan dari pemuka masyarakat.
Hukum dalam masyarakat juga harus
menunjukkan segi formalnya mengenai kehidupan hukum itu sendiri, artinya
disebut sebagai tulang-tulang yang menjadi kerangka bagi bangunan hukum itu
sendiri, sedangkan kata “masyarakat” dalam kaitan ini bolehlah diibaratkan
sebagai “dagingnya”.
Jadi ada kerangkanya dan ada dagingnya. Oleh
karena itu unsur bangunan hukum dalam suatu masyarakat terdiri dari
1.
Sistem peraturan itu sendiri.
2.
Segi ideologisnya.
3.
Segi manusianya.
4.
Segi struktur kemasyarakatannya dan
5.
Segi fasilitas-fasilitas fisiknya.
Bangunan hukum sebagaimana dimaksud
oleh Satjipto Rahardjo di atas tidak lain merupakan sistem hukum .
Menurut Friedman ada tiga komponenn
yaitu
1.
struktur hukum (legal structure),
2.
substansi hukum (legal substance)
dan
3.
budaya hukum (legal cultur).
Ketiga
komponen ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain, dan
di dalam pelaksanaannya terdapat saling ketergantungan.
D.
Beberapa Konflik Sosial Dan Faktor
Penyebabnya Di Indonesia
Sebagaimana penulis sebutkan
sebelumnya, konflik sosial yang sifatnya horisontal sudah banyak terjadi di
Indonesia, dengan membawa akibat kerugian baik material maupun nyawa yang
ribuan jumlahnya, sehingga membawa pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan
berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia secara umum dan di wilayah konflik
secara khusus.
Salah satu konflik sosial
(kerusuhan) yang terbaru adalah yang terjadi di daerah wilayah Aralle,
Tabulahan dan Mambi Sulawesi Selatan. Adapun faktor penyebabnya adalah:
1. Bagi masyarakat yang kontra atau tidak mau
masuk ke Kab. Mamasa menyatakan bahwa wilayah Kab. Mamasa yang mencakup antara
lain seluruh wilayah Kec. Aralle,
Tabulahan dan Mambi sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pembentukan
Kab. Mamasa adalah tidak sah dan cacat yuridis, karena dasar dikeluarkan
undang-Undang tersebut adalah atas Ketetapan DPRD Kab. Polmas dan DPRD Prov.
Sulawesi Selatan yang memberikan keleluasaan bagi desa-desa di tiga Kecamatan
Aralle, Tabulan, dan Mambi yang tidak mau masuk ke Kabupaten Mamasa dan tetap
berada pada kabupaten induk yaitu Kab. Polmas. Kemudian meminta agar dilakukan
yudicial review terhadap UU
Nomor 11 Tahun 2002.
2. Bagi masyarakat yang pro atau setuju ke Kab.
Mamasa menyatakan bahwa dengan diundangkannya UU Nomor 11 Tahun 2002 berarti
Undang-Undang ini telah berkekuatan hukum, sehingga harus dijalankan dan
ditaati, dan yang tidak mentaati supaya diproses sesuai dengan hukum.
3. Pendapat masyarakat yang pro kontra ini
didukung oleh kedua pemerintah kabupten, dan pemerintah Kab. Polmas mendukung
masyarakat yang kontra dan pemerintah Kab. Mamasa mendukung masyarakat yang
pro.
Konflik-konflik lainnya yang terjadi
adalah di Ambon, Poso-Prov. Sulawesi Tengah, Sampit Kalimantan Tengah dan di
Kalimantan Barat. Konflik yang terjadi di Kalimantan Barat melibatkan Suku
Madura dengan Dayak di Kalimantan Barat.
Adapun faktor penyebab konflik
antara Suku Madura dengan Suku Dayak
adalah:
1. Karena adanya paham etnosentrisme dan
prasangka etnis dalam masyarakat Kalimantan Barat yang berwujud konflik antar
individu dan meluas menjadi antar suku, karena dirasakan adanya ketidakadilan
dari satu etnis kepada pihak etnis lainnya yang dianggap merusak kepentingan,
kehormatan, kerugian materil, dan penderitaan atau ketidakpuasan secara umum.
2. Karena peralihan hak kepemilikan yang secara
perlahan-lahan dan pasti berpindah tangan dari anggota kelompok etnis, misalnya
kebun karet, kebun kelapa sawit, faktor premanisme, dan bentuk kriminalitas
lainnya telah bertahun-tahun dianggap merugikan etnis Dayak.
Apabila diperhatikan penyebab
berbagai konflik pada dua daerah sebagaimana disebutkan di atas ditinjau dari aspek kriminologi,
sistem hukum itu sendiri dapat menjadi pencetus timbulnya konflik sosial,
misalnya akibat perlakuan yang tidak adil dari suatu lembaga pemerintahan
termasuk dalam memberikan pelayanan hukum yang tidak menempatkan seseorang
sebagaimana disebutkan dalam idealisme hukum yaitu “persamaan di depan hukum (equal befor the law)”, dan menjunjung
supremasi hukum (supremacy of law)
terhadap etnis tertentu, maka terjadi ketidakpuasan dari satu pihak, dan
dianggap sebagai potensi atau faktor pencetus timbulnya berbagai konflik
kepentingan lainnya sehingga terjadi konflik yang lebih besar (anarkhi).
Dari dua konflik yang terjadi
sebagaimana telah diraikan, bila dikaitkan dengan teori tentang konflik, pada
prinsipnya terjadi karena ada pertentangan berbagai kepentingan antara
seseorang/kelompok dengan orang tertentu/kelompok yang akhirnya meluas ke
kelompok yang lebih luas lagi yang kepentingannya berbeda, dan berkembang terus
ke arah yang lebih besar sampai anarkhi.
E.
Penegakan Hukum Dan Penyelesaian
Konflik Sosial
Membicarakan penegakan hukum, dengan
sendirinya harus membahas sistem hukum itu sendiri, karena penegakan hukum
dapat dilaksanakan tidak terlepas dari peranan aparat hukum, substansi hukum,
dan budaya hukum dari masyarakatnya itu sendiri. Bahkan para sosiolog hukum cenderung
menekankan bahwa “budaya hukum” memegang
peranan yang sangat penting dan menentukan berfungsinya hukum dengan baik,
seperti yang dikatakan oleh J. Brady “ without a culture respect and expect the rule of law,
the system of justice will remain weak”.[2][11] Jadi tanpa budaya hukum maka penghargaan dan
penghormatan terhadapa rule of law maupun keadilan itu sendiri akan tetap lemah
dan tidak berdaya.
Dengan kata lain bahwa budaya hukum
merupakan roh yang membuat hukum itu bernafas dan bergerak. Di samping itu,
hukum merupakan suatu ungkapan (expression)
dari suatu budaya, gagasan tentang hukum, juga merupakan sejarah intelektual
manusia. Ide-ide atau gagasan-gagasan tersebut sangat kuat dalam pembatasan dan
pemikiran yang langsung tentang hukum, juga memiliki pengaruh besar terhadap
sistem hukum dan pengoperasian sistem hukum, dan menanamkan kesadaran hukum
berarti menanamkan nilai-nilai budaya.
George Fletcher mengatakan: (orang
Amerika telah memandang hukum sebagai agama, kemudian media surat kabar telah
terbuka secara luas memuat berita-berita peradilan, penundaan pengesahan
perundang-undangan, putusan-putusan baru peradilan).
Dari pandangan tersebut menjelaskan
bahwa budaya hukum sangat perlu karena menentukan bagaimana hukum itu
sebenarnya dijalankan di masyarakat, termasuk bagaimana dapat dioperasionalkan
untuk mengatasi berbagai persoalan (konflik sosial). Karena dengan berlakunya
suatu hukum, biasanya terjadi suatu
masalah hukum bilamana terdapat konflik antara dua pihak, yang diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga.
Pihak ketiga ini dapat berwujud bermacam-macam badan atau lembaga, apakah itu
yang terkait dalam penegakan hukum formal maupun non formal seperti tokoh-tokoh
masyarakat, rohaniawan, cendikiawan, dan lain-lain.
Pada prinsipnya kehadiran hukum
berkaitan erat dengan salah satu bentuk penyelesaian konflik yang netral dan
tidak memihak. Dengan demikian terdapat suatu hubungan yang erat antara hukum
dengan konflik,
Sebagaimana telah dikatakan oleh
Uger didalam bukunya Soerjono Soekanto,
yang telah membagi konflik atas
tiga bagian, yaitu:
1.
konflik antara kepentingan pribadi
dengan kepentingan sosial,
2.
konflik antara kebebasan dengan
paksaan,
3.
konflik antara negara dengan
masyarakat.
Kemudian Uger
menempatkan studi hukum di dalam kerangka permasalahan umum dalam teori sosial
seperti pada ketiga konflik tersebut di atas. Sehingga dalam menyelesaian
konflik penegakan hukum sangat penting,
(dengan sendirinya tidak mengabaikan betapa pentingnya juga penyelesaian melalui
jalur non juridis).
Sebenarnya secara substansial
berbagai peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan konflik sosial yang
terjadi selama ini sudah tersedia, namun realitas yang kita temui sampai saat
ini penyelesaian konflik sosial sulit diselesaikan melalui pendekatan judicial, seolah-olah hukum sudah
mati sebagaimana dikatakan oleh
-
M. Trubek dikala
Sistem penegakan hukum dihadapkan pada konflik sosial yang sudah
anarkhi, sehingga merupakan suatu tontonan atas
keresahan, dan kesenjangan yang setiap hari dapat kita lihat
di negeri ini, sehingga prinsip-prinsip untuk menjunjung supremasi hukum
demi terwujudkan keadaan dan kepastian hukum lebih tepat disebut sebagai
retorika saja. Oleh karena itu ada
beberapa proposisi yang berkaitan dengan kekurang berdayaan penegakan
hukum untuk mengatasi konflik sosial yaitu:
1.
Aparat hukum memang tidak memiliki
komitmen untuk mewujudkan supremasi hukum,
2.
Komitmen yang ada ternyata tidak cukup tinggi, sehingga supremasi hukum
yang terwujud berbentuk setengah-setengah, inkonsisten, dan atau diskriminatif, dan
3.
Terdapatnya komitmen yang tinggi
atau cukup kuat untuk mewujudkan supremasi hukum, namun banyak kendala yang
dihadapi karena pengakan hukum tidak bisa hanya dilakukan tanda dukungan maupun
kerja sama dengan pihak-pihak terkait, utamanya juga kesadaran dari
masyarakatnya sendiri.
Polri selaku alat negara penegak
hukum (formal) dan dalam sistem penegakan hukum pidana merupakan salah
satu unsur dari Sistem Penegakan Hukum
Pidana Terpadu, yang bertugas sebagai alat negara memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman
dan pelayanan kepada masyarakat demi tercapainya penegakan hukum. Tujuannya
adalah untuk mewujudkan keamanan dalam negeri.
Tugas Polri sebagaimana telah
ditentukan dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 pada prinsipnya sama dengan tugas polisi
secara universal, yaitu
1.
Memelihara ketertiban umum (maintatenance of order), yaitu
dilaksanakan dengan mempertahankan keteraturan melalui pencegahan perilaku yang
mengancam ketenteraman masyarakat atau melibatkan konflik pribadi antara dua
orang atau lebih,
2.
Penegakan hukum, (law enforcement), yaitu dilaksanakan
untuk mengendalikan kejahatan dengan cara turun tangan dalam berbagai keadaan,
apabila hukum telah dilanggar, dan
3.
Pelayanan (services), yaitu melakukan pelayanan dan bantuan yang biasanya
tidak berhubungan dengan kejahatan.
Penegakan hukum dalam menangani
masalah-masalah konflik tidak hanya mencakup penegakan hukum dalam arti represif (penindakan) tetapi
penegakan hukum dimulai dari pre-emtif
dan preventif. Oleh karena itu Polri sebagai salah satu
unsur penegak hukum yang terkait dengan
sistem penegakan hukum pidana merupakan line terdepan dalam menghadapi berbagai
konflik sosial, (dan sekaligus juga aparatur hukum yang pertama bersentuhan
dengan HAM) mulai dari tahap awal artinya sebelum timbul akibat yang
bertentangan dengan hukum, misalnya dalam tarap penyampaian inspirasi melalui
unjuk rasa, sebagai hak setiap warga negara.
Dengan demikian kehadiran Polri jelas dalam hal ini sebagai pengawal
terlaksananya prinsip-prinsip demokrasi yaitu kebebasan menyampaikan inspirasi
secara aman dan tertib, walaupun didalmnya sudah terkandung konflik sosial.
Sebenarnya sebelum dilakukan
penegakan hukum baik yang sifatnya preventif
dan represif selalu dilakukan
penegakan hukum yang sifatnya pre-emtif,
melalui berbagai pendekatan pendidikan, penyuluhan, dan ceramah-ceramah agar
tumbuh dan tertanam dalam diri masyarakat prinsip “jadilah menjadi polisi pada
dirinya sendiri maupun lingkungannya”
dengan kata lain mempolisikan masyarakat. Kemudian dilaksanakan kearah tindakan
yang lebih real yaitu mengaliminir
berbagai kejahatan melalui tindakan preventif
(pencegahan) yang dilaksanakan dengan berbagai tindakan polisi yang bersifat non justicial (non pro justitia).
Bahkan dalam beberapa hal tertentu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 butir
a menyatakan bahwa Polri “Berwenang membantu menyelesaikan perselisihan warga
masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum”. Perselisihan dalam hal ini
dengan sendirinya merupakan bagian dari konflik, karena timbulnya suatu
perselisihan karena ada konflik interest didalamnya.
F. Langkah-Langkah Pencegahan Konflik Sosial
Mengingat bahwa konflik sosial yang
intensitasdan ekstensitasnya sudah
semakin dalam dan meluas, maka sangat perlu diambil langkah-langkah yang
sifatnya strategis dan harus dilakukan
Polri dalam mengatasi berbagai konflik horisontal sebagai berikut:
1. Menjamin kebebasan dan rasa aman masyarakat
untuk bepergian kemana saja, dengan sasaran membongkar dan menghilangkan
berikade (plang).
2. Menjamin
rasa aman masyarakat untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhannya
sehari-hari, dengan sasaran tidak terjadi lagi sweeping, pengusiran ataupun pelarangan dari masing-masing
kelompok yang bertikai di pasar, kebun, atau tempat-tempat lain yang merupakan akses publik.
3. Mengembalikan
para penghungsi kerumahnya masing-masing dengan memberikan jaminan bahwa tidak
akan ada yang akan mengganggu lagi.
4. Memproses semua perkara yang terjadi sebagai
dampak dari adanya konflik secara cepat dan tuntas dengan sasaran kasus
pembunuhan, penganiayaan, pengrusakan, dan pembakaran.
5. Menindak secara tegas masyarakat yang
membawa dan menyimpan senjata api maupun senjata tajam serta benda-benda lain
yang dapat membahayakan.
6. Mencegah masuknya orang-orang dari luar
daerah yang bertikai, agar tidak terjadi provokator-provokator yang memperkeruh
keadaan konflik.
7. Membantu kesulitan masyarakat terutama soal
makanan, pakaian, dan obat-obatan selama pasca pengungsian.
8. Melakukan koordinasi yang intensip dengan
aparat terkait dalam mengatasi
konflik, sekaligus memberikan
jaminan keamanan bagi aparat terkait yang turun kelokasi konflik untuk menyelesaikan
dampak konflik.
9. Mencegah terjadinya ekses yang tidak perlu
dari petugas Polri yang bertugas menangani konflik sosial seperti tidak
melakukan kekerasan, kesalahan prosedur, tidak berpihak kepada salah satu pihak
yang terlibat konlik.
10.
Memberikan daya tangkal dan percaya diri kepada masyrakat agar tidak mau diadu
domba oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Langkah-langkah yang akan dilakukan
oleh Polri dalam kaitannya dengan penegakan hukum untuk mengatasi berbagai konflik
sebagaimana disebutkan di atas, perlu ditentukan bagaimana cara bertindak, agar
tindakannya terarah sehingga diharapnya tujuannya dapat tercapai dengan baik.
Adapun cara bertindak dimaksud adalah:
1.
Melakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang kerugian-kerugian yang
ditimbulkan akibat tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan seperti menutup
jalan, pasar, sawah dan sebagainya. Meminta agar masyarakat membongkar berikade
secara sukarela. Apabila masyarakat menolak maka dilakukan upaya paksa dengan
membongkar barikade dan menangkap orang-orang yang melakukan perlawanan.
2.
Melakukan sosialisasi UU Darurat Tahun 1951 tentang Larangan Membawa Bahan
Peledak, Senjata Api, Senjata Tajam, dan Barang-barang Berbahaya Lainnya Tanpa
Izin. Meminta masyarakat untuk secara sukarela menyerahkan senjatanya kepada
polisi dengan jaminan perkaranya (membawa senjata tersebut) tidak akan diproses
dengan diberikan batas waktu 2 (dua) hari bagi yang membawa dan 1 (satu) minggu bagi yang menyimpan.
Setelah batas waktu tersebut dilewati, dilakukan razia dan terhadap
pelanggarnya diproses sesusai ketentuan hukum yang berlaku.
3.
Melakukan upaya paksa berupa penangkapan tersangka, penggeledahan rumah,
penyitaan barang bukti terhadap seluruh kasus-kasus yang terjadi (pembunuhan,
penganiayaan, pengrusakan/pembakaran rumah) yang selama ini tertunda karena
adanya perlawanan dari masyarakat. Setiap Polisi akan melakukan upaya paksa,
masyarakat memukul kentongan dan berusaha menyerang Polisi.
4.
Melakukan penjagaan di setiap kampung yang berbatasan antara komunitas yang
bertikai dengan cara mendirikan pos tetap termasuk melakukan penyekatan di
pintu wilayah ATM.
5.
Melakukan patroli dan razia di seluruh rumah penduduk dan tempat-tempat umum
untuk mencari dan menyita senjata.
6.
Melakukan pengawalan secara tersamar
kepada masyarakat yang merasa terancam dalam aktifitas sehari-harinya. Secara
tersamar dilakukan agar jangan timbul kesan Polisi berpihak pada salah satu komunitas.
7.
Melibatkan Bhayangkari dan keluarga besar Polri untuk menggalang dan memberikan
bantuan kepada masyarakat
Langkah-langkah pencegahan
sebagaimana disebutkan di atas hendaknya diwujudkan dalam suatu program yang
lebih nyata sehingga ada tahapan-tahapan yang harus dilakukan dengan rentang waktu
yang jelas (jangka pendek, sedang, dan panjang). Dalam Perpres Nomor 7 Tahun
2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional Tahun
2004-2009 pada Bagian II yaitu mengenai Agenda Menciptakan Indonesia Yang Aman[3][17] dan Damai[4][18] diarahkan
untuk mencapai 3 (tiga) sasaran pokok (namun penulis hanya mencantumkan sasaran
pertama saja, karena erat kaitannya dengan konflik sosial) sebagai bagian dari
prioritas pembangunan nasional sebagai berikut:
Sasaran
pertama, adalah meningkatkan rasa aman dan
damai tercermin dari menurunnya ketegangan dan ancaman konflik antar kelompok
maupun golongan masyarakat, menurunnya angka kriminalitas secara nyata di
perkotaan dan pedesaaan; serta menurunnya secara nyata angka perampokan dan
kejahatan di lautan dan penyelundupan lintas batas. Dalam rangka pencapaian
sasaran tersebut prioritas pembangunan diletakan pada Peningkatan rasa saling
percaya dan harmonisasi antara kelompok masyarakat, pengembangan kebudayaan
yang berlandaskan pada nilai-nilai luhur serta peningkatan keamanan,
ketertiban, dan penanggulangan kriminalitas.
Secara khusus dalam Perpres Nomor 7
Tahun 2005 pada Bab 4 tentang Peningkatan Keamanan, Ketertiban, dan
Penanggulangan Kriminalitas, telah menjadikan suatu permasalahan yang harus
diperbaiki yaitu “kurangnya profesionalisme lembaga kepolisian”. Oleh karena
itu, diperlukan lembaga kepolisian yang memiliki profesionalisme yang efektif,
efisien, dan akuntabel, yang mengintegrasikan aspek struktural (institusi,
organisasi, susunan, dan kedudukan), aspek instrumentalia (filosopi, doktrin,
kewenangan, konpetensi, kemampuan, fungsi, dan iptek), dan aspek kultur (sumber
daya, manajemen operasional, dan sistem pengamanan masyarakat).
Dengan demikian kepolisian kedepan
masih harus bekerja keras dalam mengatasi berbagai konflik sosial dan berbagai
permasalahan lainnya yang sifatnya semakin kompleks, untuk mewujudkan rasa aman
terhadap segenap komponen bangsa ini, karena keamanan merupakan faktor yang
sangat menunjang atas berhasilnya sektor lainnya, walupun pada prinsipnya ada
ketergantungan satu sama lain.
G. Simpulan.
1.
Konflik sosial pada prinsipnya terjadi karena adanya pertentangan berbagai
kepentingan, yang pada akhirnya dapat berkembang dengan melibatkan kelompok masyarakat yang lebih luas, bahkan
meluas sampai terjadi anarkhi.
2.
Konflik sosial yang telah terjadi selama ini di beberapa wilayah negara
kesatuan RI telah menimbulkan kerugian
yang besar, dan bahkan telah memakan korban yang jumlahnya ribuan, demikian
juga kerugian ekonomi, sosial dan budaya.
3.
Sebenarnya antara hukum dan konflik merupakan dua komponen yang tidak dapat
dipisahkan, satu dengan yang lain, karena hukum dibentuk antara lain untuk
mengatasi atau menyelesaikan suatu konflik.
4.
Kenyataan yang ada sampai saat ini sulit bagi negara RI melalui alat
perlengkapannya untuk mengatasi bahkan mengaliminir faktor-faktor yang dapat
memicu terjadinya konflik sosial, sekalipun itu dengan menggunakan pendekatan
secara represif.
5.
Pemerintah telah memprogramkan dalam Perpres Nomor 7 Tahun 2005 untuk dilakukan
peningkatan kemanan, ketertiban dan penanggulan kriminalitas, yang arah
kebijakannya antara lain perlu meningkatkan profesionalisme Polri dan
meningkatkan kinerja pengawasan dan menisme kontol lembaga penegak hukum
terutama kepolisian.
0 komentar:
Post a Comment